RUANGAN mendadak senyap ketika dia angkat bicara. Pertanyaan itu tak terhindarkan muncul juga. Tak cuma soal kebijakan internasional Indonesia, pertanyaan yang datang bertubi-tubi pun mengkritisi Presiden Soekarno alias Bung Karno.
Dengan suara tenang dan zakelijk, lelaki itu memberikan jawaban atas semua pertanyaan tersebut.
“Dalam beberapa hal saya memang berbeda pendapat dengan Bung Karno. Tetapi Bung Karno adalah Presiden Republik Indonesia, negara yang saya perjuangkan kemerdekaannya bertahun-tahun. Sebagai warga negara Republik Indonesia yang ditegakkan atas dasar Pancasila, saya bisa berbeda pendapat, namun ini tidak mengurangi hormat saya kepada Bung Karno, presiden negara saya. Right or wrong he is my president. Presiden dari Negara Republik Indonesia yang saya cintai!”
Kesunyian bertahan menggantung di ruangan selama beberapa saat lagi, untuk kemudian berganti dengan riuh rendah tepuk tangan membahana. Semua orang yang hadir dalam pertemuan di Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat, itu pun spontan berdiri.
Cerita tersebut merupakan satu dari sekian banyak peristiwa serupa yang dulu mewarnai perjalanan menjelang kemerdekaan dan beberapa masa sesudahnya.
Ada banyak tokoh yang dalam catatan lembar sejarah tak selalu sejalan pikiran dengan penguasa, tetapi tak bisa dinafikan punya peran besar bagi kelangsungan Republik Indonesia. Perbedaan pendapat di antara mereka pun tak lalu memudarkan sisi kemanusiaan, penghormatan satu sama lain, dan visi ke-Indonesiaan.
Ini sepenggal cerita di antaranya.
Lelaki dalam kisah di atas adalah Mohammad Hatta alias Bung Hatta. Peristiwa itu merupakan satu fragmen saat dia memenuhi undangan memberi kuliah umum di kampus tersebut pada 1960-an.
Cerita tersebut diungkapkan oleh Emil Salim yang saat momentum itu terjadi masih mahasiswa di California. Emil menuturkannya dalam tulisan “His Majesty Mr Democrat” di buku Rendang di San Fransisco: Seri di Mata Pribadi Manusia Hatta, yang terbit pada 2002.
Bukan rahasia lagi bila proklamator kemerdekaan Indonesia, Soekarno dan Hatta, pada akhirnya lebih sering berbeda pendapat. Soekarno terus berada di lingkaran kekuasaan, Hatta memilih keluar dari istana membawa serta segala idealismenya.
(Baca juga: Bung Hatta dan Asal-usul Nama Indonesia)
Kritik keras Hatta atas kebijakan Soekarno antara lain bisa disimak dalam tulisan Hatta berjudul “Demokrasi Kita” yang dimuat di majalah Pandji Masyarakat pada 1960. Saking kerasnya itu tulisan, majalah Pandji Masyarakat langsung kena bredel.
Hatta memang bukan singa podium laiknya Soekarno yang bisa berpidato berjam-jam dengan menggelora. Namun, hingga akhir hayatnya, suara Hatta kerap jadi penenang dan asa banyak orang yang butuh pandangan, meski belum tentu juga pendapat itu dipakai.
Hingga saat-saat terakhir menjelang tutup usia, Hatta selalu berpesan agar terus dikembangkan kebiasaan beradu pendapat dan bertukar pikiran. Menurut Emil, salah satu nilai yang diajarkan Hatta adalah, “dalam pertumburan beda pendapat lahir kebenaran-kebenaran baru!”.