Andai Negarawan seperti Mereka Masih Ada...

Kompas.com - 04/08/2017, 05:47 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

Bagi mereka yang kenal atau bahkan sekadar membaca buku-buku Hatta, nilai seperti itu kentara tak cuma penghias bibir. Buat Hatta, perbedaan pendapat tak berarti bermusuhan atau menghilangkan nilai kemanusiaan dalam relasi sesama manusia.

Hatta adalah salah satu dari sedikit orang yang bertemu Soekarno menjelang Presiden pertama Indonesia itu mangkat, tepatnya dua hari sebelum Soekarno meninggal.

Tak ada permusuhan. Tak ada dendam. Hanya dua orang kawan lama seperjuangan yang sekian lama memendam rindu dipertemukan kembali tanpa kata-kata.

HAMKA dan Natsir

HAMKA. Nama ini sebenarnya akronim dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Tokoh agama, tokoh politik, penulis buku, dan sastrawan.

Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, dan buku tentang etika Islam dan tasawuf, termasuk Tasawuf Modern, Lembaga Budi, dan Falsafah Hidup, merupakan di antara karya HAMKA.

Kisahnya di pengantar buku “Demokrasi Kita” sekaligus menjelaskan posisi politik HAMKA pada masa-masa akhir pemerintahan Soekarno.

Majalah Pandji Masyarakat merupakan media yang pernah dia pimpin. HAMKA juga sempat dipenjara pada 1964-1966 karena dianggap pro Malaysia, berbeda dengan haluan pemerintah saat itu.

Namun, jangan salah. Ketika Soekarno meninggal, imam shalat jenazahnya adalah HAMKA. Setiap kali Soekarno punya pertanyaan terkait agama Islam, HAMKA adalah rujukan yang dia cari.

Tokoh dengan cerita hidup mendekati alur serupa HAMKA bisa dibilang adalah Mohammad Natsir. Dua-duanya tokoh Muhammadiyah. Mereka juga sama-sama berbasis Partai Masyumi, yang dianggap berseberangan dengan partai pemerintah dan pendukungnya.

Meski begitu, Natsir adalah sosok yang diakui sangat santun dan sanggup bertahan di antara dua rezim—Orde Lama dan Orde Baru.

Dalam karier politiknya, pandangan Natsir setajam dan sekeras HAMKA. Namun, dia juga bisa berbincang hangat dengan DN Aidit—tokoh Partai Komunis Indonesia—yang jelas-jelas berseberangan dalam banyak hal denganya.

Buku “Natsir, Politik Santun di Antara Dua Rezim” sedikit banyak memberikan gambaran seperti apa sosok Natsir ini. Kiprah dan posisinya di antara para tokoh politik pada saat itu juga turut tergambar.

Soal kesederhanaan, “pesaing” kuatnya adalah Bung Hatta yang sampai meninggal tak kesampaian membeli sepatu idaman dan kesulitan membayar tagihan listrik. Natsir adalah pejabat negara yang kedapatan mengenakan jas bertambal.

(Baca juga: Di Satu Masa, Menteri di Indonesia Ada yang Berbalut Jas Penuh Tambalan...)

Soal posisi di peta politik dan kepercayaan yang dia dapatkan dari “lawan-lawan” politiknya, cerita upaya diplomasi mengakhiri pemberontakan DI/TII di Jawa Barat bisa jadi contoh gamblang.

Posisi Natsir mewakili pemerintah Indonesia harus berhadapan dengan Kartosoewiryo. Memang upaya meluluhkan hati Kartosoewiryo gagal. Peluru yang akhirnya mengakhiri kisah hidup Kartosoewiryo.

Namun, wasiat Kartosoewiryo kepada para pengikutnya—seperti dituturkan Sarjono Kartosoewiryo dalam buku “Natsir, Politik Santun di Antara Dua Rezim”—adalah, “Kalau nanti aku mati, ikuti Pak Natsir.”

Mengulik dan membaca ulang tokoh-tokoh bangsa seperti mereka bertiga, kerap kali menggelitik harapan ada sosok-sosok serupa untuk meretas berbagai tantangan kebangsaan saat ini.

Sayangnya, kerap kali harapan itu berakhir dengan kalimat, "Andai negarawan seperti mereka masih ada...."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau