Incar Anak Milenial, BLK Segera Buka Jurusan "Fashion Design"

Kompas.com - 23/01/2018, 15:27 WIB
Kurniasih Budi

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Hampir setahun lalu Presiden RI Joko Widodo meresmikan perluasan pabrik PT Sri Rejeki Isman (Sritex) di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.

Perluasan itu kemudian berdampak pada meningkatnya kebutuhan tenaga kerja sejumlah 3.500 orang. Saat ini, Sritex memiliki lebih dari 50.000 pekerja di pabrik tekstil dan garmen.

Perkembangan pabrik itu membuka fakta soal perkembangan industri tekstil dan garmen di Jawa Tengah yang ditengarai sedang berkembang. Sayangnya, perkembangan tersebut didasari karena upah buruh di Jawa Tengah dinilai rendah.

Hal itulah yang kemudian disebut menjadi alasan mengapa sejumlah pengusaha sektor garmen dan tekstil memindahkan pabriknya dari Jawa Barat dan Banten ke wilayah tersebut.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo akhir tahun lalu mengumumkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dari Rp 1.367.000 menjadi Rp 1.486.065 pada 2018. Setelah naik 8,7 persen, ternyata UMP Jawa Tengah masih jauh lebih murah ketimbang UMP Banten yang semula Rp 1.931.180 lalu naik 8,7 persen menjadi Rp 2.099.385. Sedangkan, UMP Jawa Barat pada 2017 sebesar Rp 1.420.624 naik 8,7 persen menjadi Rp 1.544.360.

Baca:  Naik 8,7 Persen, UMP Jawa Tengah 2018 Menjadi Rp 1.486.065

Dengan masuknya sejumlah investasi, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah memprediksi, kebutuhan tenaga kerja baru di Jawa Tengah setiap tahunnya mencapai 2.000 orang. Dari total kebutuhan tenaga kerja itu, sekira 70 hingga 80 persen terserap di sektor garmen. Sisanya, terdistribusi pada sejumlah sektor, seperti tekstil, mebel, dan sepatu.

Meski begitu, kebutuhan tenaga kerja tak mungkin diserap dalam waktu bersamaan. Persoalannya, tidak mudah bagi pengusaha untuk mendapatkan tenaga kerja terampil, utamanya di sektor garmen.

Rata-rata lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) perlu dilatih tiga sampai enam bulan untuk menguasai teknik menjahit.

Rencana pemerintah

Dengan keterbatasan itu, pemerintah berencana membuka jurusan fashion design di Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja (BBPLK) Semarang. Adapun targetnya ialah generasi muda.

“Kami kembangkan jurusan fashion design untuk menarik minat generasi milenial,” kata Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Muhammad Hanif Dhakiri di kantornya, Kamis (4/1/2018).

Terjun ke industri fashion memang begitu menggiurkan. Per 2015, industri ini termasuk tiga sub-sektor ekonomi kreatif yang berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Berdasarkan catatan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), kontribusi ekonomi kreatif terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2014 adalah Rp 784,82 triliun. Nilai tersebut meningkat 8,6 persen pada 2015 menjadi Rp 852 triliun.

Sub-sektor kuliner tercatat berkontribusi sebesar 41,69 persen, kemudian fashion yang menempati posisi kedua, yakni sebesar 18,15 persen, dan kriya sebesar 15,70 persen.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau