Tulisan pertama di kolom ini saya menceritakan pengalaman saya melakukan pendampingan pada remaja yang memperlihatkan gejala-gejala depresi.
Pada saat yang sama, saya juga melakukan pendampingan di sebuah sekolah dasar swasta pada seorang anak yang didiagnosa mengalami gangguan pemusatan perhatian (GPP). Apa itu GPP?
Nama kerennya ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) yaitu suatu kondisi dimana individu memiliki kesulitan untuk memfokuskan diri pada sesuatu, terkadang ada kasus yang disertai dengan hiperaktifitas, impulsif atau susah diam, bergerak terus, tidak capek-capek.
Diagnosa itu biasanya diberikan pada anak, karena gejala-gejalanya paling terlihat pada anak. Sebenarnya labelling ini dari pengalaman saya juga masih ada yang “protes” dan saya dapat memahami protesnya.
“Lha wong sudah biasa to, anak itu ya ada yang sering tidak fokus, ada yang gampang fokus. Ga usah dikasih label…”
Beliau yang protes ini tidak sepenuhnya salah. ADHD sendiri juga kemudian jadi label dan penyandangnya dianggap memiliki gangguan jiwa, padahal yang paling tepat adalah gangguan saraf. Tapi sebaliknya, label ini penting bagi psikolog karena bisa menentukan intervensi yang tepat untuk menanganinya.
Padahal individu dengan ADHD tetap bisa beraktifitas seperti biasa, bahkan banyak orang-orang sukses yang sebenarnya pernah didiagnosis ADHD. Contohnya miliarder Inggris pemilik Virgin Group, Richard Branson, aktor Hollywood Jim Carrey, Ryan Gosling, vokalis Maroon 5 Adam Levine, Justin Beiber, peraih emas Olimpiade dalam cabang atletik Simone Biles, dan banyak tokoh-tokoh dunia yang lain.
Jadi selama diberikan terapi dan bila perlu pengobatan yang tepat, maka tidak akan mengganggu perkembangan fisik maupun psikologis anak. Sebaliknya kalau didiamkan saja maka akan menjadi masalah yang serius sejalan dengan perkembangan anak, karena anak atau remaja jadi susah belajar. Akibat lain adalah lemahnya kontrol emosi.
ADHD sendiri bukan disebabkan oleh lingkungan, pola asuh, atau yang lain. Kondisi ini disebabkan oleh faktor genetik atau keturunan, jadi gejalanya tidak bisa seratus persen dihilangkan, hanya bisa dikontrol dan dikurangi.
Menurut jurnal Pediatrics pada 2010, paparan pestisida juga meningkatkan resiko ADHD pada ibu mengandung. Selain itu resiko tinggi juga terjadi pada ibu hamil yang merokok atau meminum minuman beralkohol.
Balik lagi ketika itu saya mendampingi seorang anak berusia 8 tahun. Sebut saja namanya Roni. Roni sudah duduk di kelas tiga sekolah dasar. Untungnya sekolah itu tidak membanding-bandingkan anak melalui ranking. Semua anak diapresiasi dan dihargai kelemahan dan kelebihannya.
Dalam satu kelas ada 20 anak dengan dua guru, tiga diantaranya berkebutuhan khusus termasuk Roni. Saya ditugaskan kampus untuk membantu mendampingi. Saya mulai dari kulonuwun, minta ijin baik ke pihak sekolah maupun pada orangtuanya saya mampir ke rumah.
Orangtua Roni cukup terbuka, memang saya diinterogasi singkat maksud dan latar belakang saya. Tapi kemudian mereka dengan senang hati menerima, dan saya sangat bersyukur selama proses penegakan diagnosa, pendekatan (building rapport), lalu kemudian terapi berlangsung dengan lancar.
Karena tanpa kesediaan dan keterlibatan orangtua secara aktif, semua jenis terapi psikologi pada anak tidak akan optimal. Bersedia doang juga tidak akan bermanfaat, tapi harus aktif kedua-duanya ayah maupun ibu. Orangtua diberikan pekerjaan rumah untuk memberikan terapi mandiri di rumah.
Seperti biasa, hal pertama yang saya lakukan adalah observasi di sekolah maupun di rumah. Untuk penegakan diagnosa saya meggunakan DSM (Diagnostic & Stastitical Manual of Mental Disorders), yang saat ini sudah sampai pada edisi kelima. Panduan diagnosa gangguan jiwa (yang didalamnya juga ada pedoman diagnosa gangguan syaraf) ini bersumber dari American Psychiatric Association (APA) dan di Indonesia diadaptasi menjadi PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa).