Dalam kasus Roni, saya hanya akan menyarankan pemberian terapi perilaku. Ada banyak terapi perilaku, namun untuk kasus GPP pada anak salah satu yang cukup efektif adalah dengan token economy. Anak seusia Roni secara kognitif masih dalam taraf operasional konkrit menurut teori perkembangan kognitif Piaget, artinya bahwa anak memahami segala sesuatu secara konkrit apa yang dilihat atau didengar anak.
Beda dengan remaja yang sudah bisa melakukan abstraksi, pada kasus remaja yang sebelumnya pernahs saya tulis, saya menggunakan Cognitive Behavioral Therapy (CBT), pada anak terapi ini tidak akan efektif.
Token economy merupakan terapi yang sederhana, tapi membutuhkan konsistensi yang tinggi baik dari psikolog, guru, maupun orangtua. Sekali saja muncul inkonsistensi dari salah satu pihak, terapi akan berantakan.
Intinya adalah take and give. Memberi dan menerima. Makanya ada istilah “economy”. Anak akan dijanjikan sesuatu apabila dia melakukan sesuatu. Dalam hal ini Roni diminta melakukan hal-hal yang sedarhana pada awalnya, namun teratur dan konsisten. Misalnya sepulang sekolah Roni ditugaskan menaruh baju kotor dan kaus kaki di keranjang baju kotor dekat mesin cuci di rumah.
Total ada 5 tugas di rumah dan 4 tugas di sekolah untuk diselesaikan dalam tiga bulan. Setiap kali Roni berhasil melaksanakan tugasnya, ia akan mendapat sebuah stiker. Stiker ini bisa ditempel di buku token atau papan token. Saya buatkan stiker dan buku token warna-warni dengan gambar tokoh idolanya waktu itu Bernard Bear, dan mainan favoritnya, gambar-gambar mobil Hot Wheel. Buku ini dibawa oleh anak, kalau di sekolah yang memberi stiker guru, di rumah bisa ayah atau ibunya.
Ketika memberikan buku, saya, Roni, bu guru, dan kedua orangtua sudah sama-sama sepakat. Setelah sebelumnya sekitar dua minggu pendekatan ke Roni, main bola tiap sore di depan rumahnya.
Stiker dalam jumlah tertentu bisa ditukarkan dengan berbagai aktivitas kesukaan Roni. Misalnya dalam seminggu terkumpul sepuluh stiker, bisa ditukar dengan jalan ke minimarket beli satu hal yang diinginkan, jalan-jalan lihat mobil dan kereta api, atau yang unik dari Roni, dia senang sekali bila diajak ke bengkel melihat mobil diperbaiki.
Sementara dalam sebulan bila terkumpul 40 stiker bisa ditukar berenang di water boom atau nonton balap motor trail. Alhamdulillah, dalam tiga bulan Roni sudah mulai terbiasa menaruh baju kotor, menghabiskan sarapan pagi, dan tiga tugas lain. Sementara di sekolah rentang perhatiannya menjadi sedikit lebih panjang, tidak lagi ketinggalan alat tulis, dan mau menyelesaikan tugas yang diberikan.
Setelah itu saya serahkan semua stiker yang pernah saya buat, dan beberapa buku token cadangan. Mulai saat itu orangtua dan guru sendiri yang menjalankan terapinya, dengan tugas-tugas yang sedikit lebih sulit dari sebelumnya. Sekali lagi inti dari terapi ini hanya satu, konsistensi. Konsistensi akan membangun kepercayaan diri anak dan menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan yang sebelumnya sulit dilakukan.
Bahkan saat saya pamitan di rumahnya untuk menyelesaikan program terapi, Roni langsung bilang ke ayahnya nanti kalau sudah besar ingin masuk Teknik Mesin, kalau tidak bisa ya STM jurusan mesin, lalu ingin punya bengkel sendiri, ingin punya showroom mobil. Bahkan anak lain seusianya mungkin masih banyak yang belum tahu mau jadi apa selain pilot kata saya.
Ayah, ibu dan putra tunggalnya ini pun tertawa lebar. Tidak lama kemudian saya pun pamit, sambil mereka antar saya mengeslah motor saya…jeglek..jeglek..jeglek, honda supra saya memang kadang suka ngambek.
Saya meringis diketawain Roni. Lalu Bruum…akhirnya hidup setelah 12 kali starter. Saya pun tos dengan Roni dan senyum-senyum sendiri dalam perjalanan pulang sambil bersyukur bisa membantu mereka. Bahagia itu sederhana…
Sumber :
Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorders, Fifth Edition. American Psychiatric Association. 2013