KOMPAS.com - Tahun ini anak pertama saya masuk kelas 1 sekolah dasar (SD). Saya dan istri sengaja memilih sekolah inklusi. Sederhananya, sekolah inklusi yaitu sekolah yang menerima anak berkebutuhan khusus, dijadikan satu kelas dengan anak-anak lain.
Mereka diberikan kesempatan sama untuk belajar, sebaliknya anak-anak lain diberikan kesempatan membantu sesama memiliki kebutuhan khusus.
Kami berharap, anak-anak bersekolah tidak hanya supaya unggul secara kognitif, tapi juga afektif dan sosial. Kebetulan saya pernah hampir 1 tahun melakukan pendampingan anak berkebutuhan khusus, juga di sebuah sekolah inklusi.
Trisentra Ki Hadjar Dewantara
Setelah hampir 2 minggu masuk, Sabtu minggu lalu orangtua siswa diundang ke sekolah berkenalan dengan guru-guru dan mendengarkan penjelasan sekolah mengenai rencana pembelajaran selama kelas satu.
Momen ini sudah kami tunggu sejak pertama masuk sekolah. Kami ingin tahu lebih jauh mengenai strategi sekolah mendidik anak-anak, bagaimana metode pengajaran, dan terutama, apakah visi dan misi sekolah tergambar di dalamnya.
Kami juga ingin tahu bagaimana implementasi Kurikulum 2013 (K13) yang beberapa waktu menjadi perbincangan seru.
Dibuka oleh kepala sekolah yang masih muda (masih di bawah 40 tahun), forum “sosialisasi” ini berlangsung hangat. Guru-guru rata-rata usianya di bawah 35 tahun. Kami pun merasa ayem, lega, setidaknya untuk saat ini.
Kepala sekolah dan guru sama-sama menyampaikan strategi pembelajaran disesuaikan dengan tugas perkembangan anak. Seorang guru juga mengatakan bahwa proses pendidikan tidak bisa hanya dilakukan di sekolah bersama guru, tapi juga di rumah bersama orangtua.
Keduanya, guru dan orangtua, harus memperhatikan interaksi anak dengan teman sebaya.
Konsep ini, lingkungan sekolah (alam-perguruan), lingkungan di rumah (alam-keluarga), dan lingkungan sebaya (alam-pergaulan) merupakan perwujudan sistem trisentra yang digaungkan Ki Hajar Dewantara.
Tugas guru dan orangtua
Oleh karena sebagai orangtua kita memiliki tanggung jawab sama besar bersama guru di sekolah untuk mendidik anak. Kurang lebih saya setuju rencana pemerintah kota Blitar melarang guru memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada siswa.
Tapi sebenarnya saya ingin menambahkan, sebaiknya PR tetap diberikan. Bukan kepada anak, tapi kepada orangtuanya.
Persis ketika kami, para orangtua dikumpulkan dan diberi tugas dengan tema sama dengan pelajaran di sekolah, tapi untuk diimplementasikan di rumah.