Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Memberikan Semangat Lewat Pesan Singkat, Apakah Efektif?

Kompas.com - 06/08/2018, 17:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Sebagian besar kita pasti pernah menghadapi situasi yang membuat stress, misal saat menghadapi wawancara kerja, diminta memberikan presentasi kepada bos, atau menghadapi ujian sekolah.

Biasanya sesaat sebelum wawancara atau ujian dimulai, teman dekat, pacar, atau suami/istri akan mengirimkan pesan Whatsapp atau SMS. “Semangat ya!” atau “Kamu pasti bisa!”, atau “InsyaAllah berhasil!”, dan semacamnya.

Tentu maksudnya baik, memberikan semangat. Mereka juga pasti berharap proses berjalan lancar dan kita lebih percaya diri.

1. Efektif atau tidak?

Anda boleh percaya, tidak percaya juga boleh. Pesan singkat semacam itu tidak efektif. Justru alih-alih memberikan semangat, niat baik teman ini malah meningkatkan tekanan darah dan detak jantung. Ini tanda-tanda meningkatnya stress.

Bukannya tambah percaya diri, malah tambah stress. Lucu kan?

Justru pesan singkat “OOT” (out of the topic) seperti “gedung ini bagus sekali ya” atau “langit di luar cerah lo” yang diberikan pada situasi sama dapat membuat tekanan darah dan detak jantung lebih santai. Tanda-tanda tingkat stress menurun. Kok bisa demikian?

Temuan ini bukan pendapat asal-asalan, tapi dari hasil penelitian yang sudah terbit di jurnal internasional pada bulan Juli 2018 lalu. Penelitian ini dapat dijumpai dalam jurnal "Computers in Human Behavior " volume 84.

Penelitian ini dilakukan Emily Hooker, Belinda Campos, dan Sarah Pressman. Ketiganya Doktor Psikologi Fakultas Psikologi dan Perilaku Sosial, University of California.

2. Memberi semangat kala stress

Para peneliti merekrut 75 pasangan (laki-laki dan perempuan) dan memisahkan mereka dalam dua ruangan berbeda. Peneliti menggunakan alat pengukur detak jantung dan tekanan darah pada peserta perempuan.

Mereka juga diminta tetap membawa smartphone agar bisa menerima SMS sebagai bagian dari penelitian. Selanjutnya, tanpa diberi informasi sebelumnya oleh peneliti, mereka diminta melakukan pidato mengenai topik tertentu dan direkam menggunakan kamera besar.

Selain itu mereka juga diminta mengerjakan soal-soal matematika dan juga direkam. Mereka diberikan waktu 4 menit untuk persiapan, kemudian lampu studio menyala, kamera menyala, dan peneliti berteriak “Action!” Para peserta pun gelagapan.

Sebelum tugas dimulai, sesaat setelah mereka diberi tahu tugas yang harus dilakukan, para peserta perempuan kaget dan merasa tidak siap. Saat itulah para peserta laki-laki di ruangan lain diminta mengirimkan SMS (hanya itu tugas peserta laki-laki).

Intinya memberikan semangat pada pasangan yang mulai stress karena waktu persiapan sangat singkat.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com