15 Tahun Sokola Institute, Merayakan Keberagaman Pendidikan

Kompas.com - 26/09/2018, 21:25 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Dalam peringatan 15 tahun, Sokola Institute menggelar kegiatan "Merayakan Keberagaman Pendidikan" diadakan di Goethehaus Jakarta, Rabu, 26 September 2018.

Dalam acara "Merayakan Keberagaman Pendidikan", kisah-kisah pembelajaran dari kearifan lokal masyarakat adat dinarasikan kembali oleh publik figur yang peduli terhadap pendidikan dan juga budaya, diantaranya: Reza Rahadian, Mira Lesmana, Riri Reza, Maudy Koesnadi, Prisa Nasution, Tulus dan juga Ananda Sukarlan.

Belajar dari kearifan lokal

Dalam sambutan, Butet Manurung, direktur dan pendiri Sokola Institute menyampaikan bahwa pemerintah dan masyarakat perlu melihat masyarakat adat secara benar.

"Awal datang mengajar di komunitas Orang Rimba, saya berpikir mereka adalah masyarakat marginal, miskin, terbelakang dan perlu dibantu. Namun dalam perjalanan waktu justru saya yang banyak belajar dari kearifan Orang Rimba," kata Butet.

Ia menambahkan, mereka adalah masyarakat yang bahagia dengan hidupnya, hidup berkecukupan dan kaya akan sumber daya alam serta kearifan lokal yang sesuai dengan kondisi lingkungan mereka.

Baca juga: Tradisi Jaton dan Pesan Merawat Kearifan Lokal di Tengah Perubahan Zaman

"Kita tidak bisa menerapkan standar hidup modern untuk mengukur kehidupan masyarakat adat. Namun mereka tetap perlu dibantu dalam penyediaan pendidikan untuk mempertahankan hak sebagai masyarakat adat dan untuk bertahan hidup hidup menghadapi tantangan zaman," tambah Butet.

Mempertahankan 3 prinsip

Dalam perkembangannya, Sokola Institute saat ini telah hadir di 15 daerah di Indonesia dan menjangkau lebih dari 10 ribu orang di daerah Jambi, Aceh, Makassar, Bulukumba, Jember, Flores, Halmahera, Asmat dan juga Sumba. 

Setiap masuk dalam masyarakat adat tertentu, Sokola Institute tetap menghormati adat dan kearifan lokal dalam 3 unsur yang biasa terdapat di dalamnya yakni; hubungan dengan alam, hubungan dengan Sang Pencipta dan hubungan dengan sesama. 

Ketiga unsur inilah yang kemudian menjadi 3 segmen narasi kisah-kisah pembelajaran dari kearifan lokal.

Dalam sesi pertama, hubungan dengan alam, Riri Reza menceritakan bagaimana kedekatan masyarakat Orang Rimba dengan alam tergambar jelas dalam rumah yang mereka tempati. Tiap rumah dibangun dari bahan alami, dengan ukuran sama dan didirikan secara bergotong -royong.

"Rumah kami dibangun tanpa kayu penghubung yang mengikat keempat tiangnya. Sehingga saat gempa, rumah kami ikut menari seirama gempa," narasi Riri. Ia melanjutkan, semakin tinggi jabatan adat Orang Rimba, rumahnya justru terlihat makin sederhana.

Harmoni alam dan memuliakan perempuan

Pada kesempatan narasi yang berbeda, Maudy Koesnady menceritakan bagaimana anak-anak Orang Rimba tumbuh harmoni bersama alam. "Seperti akte, elahiran anak rimba selalu diikuti dengan penanaman pohon Setubung dan Songori. Mereka tumbuh bersama," cerita Maudy. Pohon akan tumbuh besar untuk menjaga kehidupan, tambahnya.

Hal senada juga diceritakan Tulus tentang kedekatan Orang Rimba dan hutan. "Hutan adalah hidup, hutan adalah nyawa bagi Orang Rimba," cerita Tulus.

Dalam segmen hubungan dengan sesama, Prisia Nasution menceritakan betapa perempuan mendapat tempat yang luhur dan terhormat dalam masyarakat Orang Rimba. "Dalam perumpaan Orang Rimba, perempuan digambarkan sebagai durian dan pria sebagai mentimun. Mengapa? Karena saat durian berbenturan dengan mentimun maka mentimun yang akan hancur," cerita Prisia langsung disambut tawa penonton.

Hal ini untuk menggambarkan posisi wanita mendapatkan tempat yang tinggi, terhormat dan selalu dibela dalam hukum adat. "Perempuan Orang Rimba justru dituntut untuk galak dan cerewet kepada pria untuk memenuhi tanggungjawabnya. Kalau dicereweti istri, suami Orang Rimba tidak berani membantah atau berdebat dan hanya akan menjawab 'iya, iya"," tutur Prisa yang lagi-lagi disambut tawa penonton.

Masih masih banyak kisah-kisah lain diceritakan dalam peringatan 15 tahun Sokola Institute. Ada Mira Lesmana yang menceritakan kedekatan masyarakat Sumbawa dan kuda mereka atau kisah bagaimana masyarakat Asmat melihat budaya memahat kayu sebagai media berkomunikasi dengan leluhur seperti yang diceritakan Reza Rahadian.

Dalam penutup, Handry Satriago, dewan penyantun Sokola menyampaikan bahwa kebaikan akan selalu bertumbuh. "Jangan kuatir, Butet, kebaikan yang sudah diberikan akan mengundang banyak orang-orang baik untuk membantu turut serta dalam berbagi kebaikan," tutup Handry.  

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau