KOMPAS.com - Soal intoleransi kerap menjadi tantangan dalam menjaga semangat Sumpah Pemuda yang selalu diperingati setiap tanggal 28 Oktober 2018.
Salah satunya hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyebutkan 56,9 persen guru di Indonesia memiliki opini intoleran secara eksplisit dan 46,01 persen memiliki opini radikal.
Peringatan Sumpah Pemuda (28/10/2018) yang juga dilaksanakan Sekolah Global Sevilla merupakan salah satu upaya dalam menumbuhkan kebanggan sebagai bangsa Indonesia.
Tidak hanya melaksanakan upacara bendera, untuk menumbuhkan semangat 'Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa', para siswa, guru dan staff sekolah Global Sevilla mempresentasikan keragaman dari provinsi-provinsi yang ada di Indonesia.
"Saat ini ideologi intoleransi sudah merasuki juga para orangtua. Di rumah mereka mengajarkan anak-anaknya untuk menjadi fanatik dan mengarah pada intoleransi. Mereka juga akhirnya mempengaruhi kebijakan sekolah karena orang tua saat ini memiliki kekuatan sosial untuk mempengaruhi kebijakan sekolah," kata Robertus Budi Setiono, Direktur Global Sevilla School saat dihubungi Kompas.com.
Baca juga: Cerdas Kebangsaan bagi Pemilih Milenial Cuek Politik
Menurutnya, intoleransi di sekolah disebabkan multiplier effect mulai dari penyusupan ideologi ekstrem berkedok agama, pembiaran hingga monitoring yang kurang kuat.
"Sebenarnya perangkat dalam struktur kependidikan di lembaga pemerintah sudah cukup baik hanya sayang kurang diberdayakan dengan optimal," ujarnya.
Ia menambahkan, pemerintah harus tegas dalam memonitor dan menjaga kenetralitasan dunia pendidikan. "Jangan sampai pula unsur fanatisme agama maupun politik merasuk masuk ke dunia pendidikan dan memanfaatkan dunia pendidikan untuk kepentingan pihak tertentu," ujar Robertus.
Ia menyampaikan, ada Dewan Pendidikan dan juga Komite Sekolah yang dapat diberdayakan sebagai patner pemerintah untuk melakukan fungsi monitoring agar jangan sampai intoleransi dan juga politik praktis masuk dalam pelaksanaan proses belajar mengajar.
"Pancasila adalah satunya karakter bangsa yang dapat menyatukan bangsa Indonesia yang beragam. Indonesia adalah negara besar dan unik, tidak ada negara manapun yang sehebat Indonesia," ujarnya.
Ia mengharapkan sekolah terus menggaungkan rasa kebanggaan sebagai bangsa Indonesia dalam diri para siswa.
"Indonesia adalah negara hebat. Kita semua baik pemerintah, swasta, pemerhati pendidikan dan lembaga2 kerohanian harus sadar bahwa kita benar benar dapat mendidik siswa menjadi generasi penerus bangsa berjiwa nasionalis," lanjutnya.
Jika tidak, maka bonus demografi akan menjadi kutuk dan bencana bagi bangsa kita 10 - 15 tahun ke depan.
"Pancasila, NKRI, UUD NRI 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika harus terus digaungkan tidak hanya di pelajaran PKN tapi harus dapat masuk ke dalam semua mata pelajaran," tegas Robertus.
Sebagai contoh dalam memberikan soal tes anak2 harus diperhatikan unsur karakter bangsa. Misal mulai dalam hal sederhana saat membuat soal matematika: "Si Badu punya 5 kelereng. Lalu si Ujang menghampiri si Badu dan mengambil 3 kelerengnya. Berapa kelereng si Badu?"
Dengan pengerjaan yang sama, soal dapat diberikan dengan memperhatikan unsur pembentukan karakter: "Si Badu punya 5 kelereng lalu dia berjumpa dengan si Ujang. Badu memberikan 3 kelereng kepada Ujang..Berapa kelereng si Badu?"
Jadi, pada praktek pembelajaran semua mata pelajaran tidak boleh bertentangan dan menyimpang dari 4 pilar bangsa tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.