KOMPAS.com - Tidak mudah bagi Esim (72 tahun) dan Komariah (60 tahun) membiayai sekolah anak sampai lulus S1 di tengah kesulitan ekonomi.
Esim hanya sekolah sampai kelas 2 SD menghidupi keluarganya dengan bekerja sebagai buruh becak di Jakarta. Profesinya sebagai buruh becak membuat Esim jarang pulang ke Kampung Gempol, Desa Kertamulya, Kecamatan Pedes Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Sedangkan Komariah, istrinya sama sekali tidak mengenyam pendidikan dan membantu ekonomi keluarga dengan berjualan sayuran keliling.
“Bapak kadang pulang dua minggu sekali, itu kalau bisa bawa uang, kalau ngga ada uang, ya pulang sebulan sekali, bawa uangnya ngga banyak, paling sekitar Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu, “ujar Komariah seperti dikutip dari laman resmi forum Sahabat Keluarga Kemendikbud.
Sedangkan jualan sayur hasilnya juga tak seberapa. Apalagi bila banyak pembeli berhutang, jangankan untung, modal beli sayuran juga selalu terpakai untuk kehidupan sehari-hari, bayar iuran sekolah atau lainnya.
“Kalau sudah begitu, yang jadi andalan kami adalah pinjem ke bank keliling yang suka meminjam kan uang dengan angsuran harian. Bayarnya dari uang hasil jual sayur, “kata Komariah.
Dengan kondisi dan situasi ekonomi keluarga sangat minim itu, adalah suatu hal mustahil pasangan itu bisa membiayai sekolah 2 anaknya hingga meraih gelar sarjana.
Tapi faktanya saat ini, kedua putri Esim-Komariah, Kusmini (23 tahun) berhasil lulus dan meraih gelar S1 dari Universitas Terbuka Karawang. Adiknya, Suharsih (20 tahun) juga meraih gelar sarjana S1 dari Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Purwakarta.
Baca juga: Menuliskan Mimpi Besar Anak Indonesia
Keduanya kini berprofesi guru honorer. Saat ini Kusmini mengajar SD Negeri Malangsari 1 Kecamatan Pedes, Karawang, sedangkan Suharsih guru di SDIT Tadzkia di Langsa, Aceh setelah sebelumnya pernah menjadi guru dalam program SM3T (Sarjana Mengajar di Daerah tertinggal, Terluar dan Terisolir) serta guru anak TKI di Sabah, Malaysia.
Mendengar cerita Komariah bagaimana perjuangannya membiayai sekolah kedua putrinya itu di tengah himpitan kemiskinan bagaikan menyaksikan melodrama menguras air mata.
Dituturkannya, seringkali hanya punya uang sangat minim sementara ia dihadapkan pada pilihan: harus beli beras atau harus beli buku dan iuran sekolah.
Dalam situasi seperti itu, Komariah nekad menggunakan uang untuk beli buku anak-anak atau iuran sekolah, sedangkan beras ia pinjam dulu ke tetangga sekitar 1 liter.
Kepada tetangganya, Komariah tak malu menceritakan kondisi sebenarnya. Terkadang tetangga mengerti tapi tak jarang pula mencibir dengan mengatakan, “Lagian, ekonomi sangat minim kok ya nekad nyekolahin anak."
Kenekatan Esim dan Komariah membuat kepala sekolah tempat anak-anak bersekolah tidak percaya, bahwa Esim hanya tukang becak dan Komariah penjualan sayur keliling. Sebab untuk urusan sekolah anak, Komariah tak pernah terlambat membayar iuran sekolah dan tak pernah menunda membeli buku pelajaran sekolah.