Aris Setiawan

Esais. Pengajar di Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta. Tertarik pada masalah kubudayaan dan musik, penyuka gending-gending gamelan.

 

Universitas dan Menara Gading Ilmu Pengetahuan

Kompas.com - 15/01/2019, 20:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

JUDUL dan tulisan ini terinspirasi dari pidato yang disampaikan oleh Goenawan Mohamad (GM) bertajuk “Universitas dan Pasca-Kebenaran” di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta tahun 2017 silam.

Ceramah itu adalah bagian dari rangkaian seremonial penghargaan yang diberikan kepada GM sebagai insan berdedikasi dalam bidang kebudayaan.

Harus diakui, kampus atau universitas awalnya didirikan sebagai upaya dalam proses mencari kebenaran dengan rumusan dalil yang disebut sebagai “ilmu pengetahuan”.

Akan tetapi, dalam beberapa kurun waktu terakhir universitas justru menjadi tiran, dengan melanggengkan dogma-dogma yang membuat kebenaran itu menjadi kaku dan tunggal.

Universitas di negeri ini kemudian mendasarkan pola pemikiran dan pengembangan paradigma berpikir yang parsial. Hampir semua bermuara pada pemenuhan kebutuhan kapitalis.

Universitas yang mampu menarik minat mahasiswa terbanyak akan dipertahankan, sementara yang sebaliknya akan dihapus atau dimatikan. Ukuran keberhasilan kemudian dihitung secara kuantitaif dengan mengesampingkan kualitas atau mutu.

Dikotomi

Mahasiswa jurusan ilmu eksak (ilmu pasti), tak lagi penting mendapatkan pelajaran (kuliah) ilmu sastra, musik, teater atau seni. Bahkan sebaliknya, mahasiswa sastra, musik, humaniora dan sejenisnya seolah tak lagi memerlukan ilmu eksak semacam ekonomi, matematika, fisika dan kedokteran.

Hal ini mengakibatkan cara berpikir mahasiswa yang terpenggal. Mereka tak lagi saling mengenal untuk menjelajah indah dan kayanya dunia ilmu pengetahuan, karena menganggap yang lain tak lebih baik dari apa yang ditekuninya, dalam kacamata kebudayaan hal ini disebut etnosentris.

Mahasiswa dengan demikian akan ahli di bidangnya, namun akan kehilangan dari apa yang disebut sebagai “empati”.

Oleh karena itu, di hari ini kita banyak melihat gesekan-gesekan yang frontal bahkan cenderung anarkis antar mahasiswa lintas jurusan dan bidang ilmu. Eksistensi diwujudkan dengan kekerasan, demonstrasi dan ancaman.

Belum lagi bagaimana pemerintah atas nama negara, melakukan evaluasi berdasarkan atas ukuran-ukuran yang kuantitatif. Universitas besar akan diguyur dana penelitian berlebih, sementara universitas (kampus) kecil akan mendapatkan dana penelitian minim. Dana penelitian tak ubahnya proyek yang mendatangkan keuntungan melimpah.

Masyarakat jarang menikmati buah hasil temuan-temuan universitas selain polemik atas kasus-kasus hukum (korupsi, anarkisme) yang mencuat di layar kaca lewat berbagai berita.

Ilmu pengetahuan menjadi statis, menara gading yang tak terbaca oleh publik. Universitas kemudian semakin mengekalkan kasta dalam kehidupan bermasyarakat.

Deretan gelar menjadi ajang pameran sekaligus misi narsistik dan penyombongan diri. Golongan yang demikian dilabeli dengan nama “kaum terdidik”, sementara lainnya adalah “tak terpelajar”.

Saya mengapresiasi kerendahan hati GM di forum itu, dengan kepala tegak menyebut diri sebagai “seorang yang tak terdidik alias berasal dari dunia ilmiah, sebagai seorang yang secara serabutan bersentuhan dengan lingkungan akademis”, namun ia berupaya memberi sumbangan pemikiran sekaligus koreksi dan kritik bagi universitas di negeri ini.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau