Ilmu pengetahuan serta cakrawala berpikir kritis dan ilmiah dapat tumbuh dari siapapun dan lingkungan manapun tanpa harus memuja-muja sebuah lembaga bernama universitas.
Justru dalam arena ilmu, juga laboratorium maupun di lapangan riset, banyak sekali hal yang menyesatkan. Bukan semata karena lemahnya keterampilan, cerobohnya penggunaan metode, kurangnya supervisi, tak memadainya ruang penelitian, tapi juga karena struktur kekuasaan yang distorsif dalam dunia ilmu, termasuk universitas.
Dari persoalan yang paling sepele kita dapat melihat kekuasaan dan kapitalisme tumbuh subur dalam tembok universitas. Nama-nama kampus lebih diidentikkan dengan penguasa, raja dan kebesaran suatu kaum.
Bahkan nama Universitas Sebelas Maret (UNS) sendiri, tempat di mana GM menyampaikan ceramahnya itu, adalah sebuah warisan yang kental beraroma Orde Baru.
Nama-nama dan warisan penguasa itu tidak saja mengekalkan ilmajinasi tentang kekuasaan, namun juga mengkonstruksi kebekuan pola pikir dan cara pandang ilmiah.
Kebenaran kemudian menjadi milik siapa yang mensponsori. Hari ini kita banyak melihat suatu kaum yang mendogmakan kebenaran versinya. Ia tak membuka kemungkinan untuk berdiskusi, koreksi dan kontemplasi bagi kebenaran yang lain.
Masyarakat menuduh dan sekaligus menghendaki apa-apa yang tak sesuai dengan pilihan dan keyakinannya adalah salah, tak ada lagi ruang berbagi, atau wisdom, kearifan.
Zaman telah berubah, universitas bergerak dengan cepat. Muncul berbagai jurusan yang mampu mengakomodasi perubahan itu. Nama kementerian dirasa terlalu usang untuk tetap mengunakan “Pendidikan dan Kebudayaan”.
Universitas harus diwadahi dengan nama kementerian yang lebih perlente: “Riset dan Teknologi”.
Apapun harus berdasar riset dan berbasis teknologi. Kata terakhir, teknologi, memang telah menyulap wajah universitas dan dinamika masyarakat dewasa ini.
Kuliah jarak jauh dengan menggunakan sambungan internet banyak digalakkan. Teknologi itu membunuh waktu, meringkas jarak dan mendekatkan yang jauh.
Namun kita lupa bahwa, yang dekat itu tidak lagi mendatangkan kedekatan. Kedekatan manusia sejatinya tak dapat dihitung dengan detik, menit maupun jam, namun keakraban dan kemesraan.
Kritik besar bagi eksistensi universitas di negeri ini. Untuk tidak semata menghamba pada ilmu pengetahuan yang berlandas nalar dan kebenaran temporer, namun juga membuka diri dengan segala kemungkinan dan keterbukaan yang lebih manusiawi.
Menjadi lebih arif dan ruang bagi kebebasan berpikir. Oleh karena itu, harapannya, universitas tak lagi menjadi menara gading, namun mampu menjadi jembatan penyadaran bagi kehidupan yang lebih baik dan harmonis, tak semata ilmiah dan kalkulatif.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.