KOMPAS.com - Pemerintah harus memfokuskan pendidikan Indonesia ke arah perbaikan mutu lulusan SD/MI (Sekolah Dasar/Madrasah Iftidaiyah), jika ingin bangsa Indonesia benar benar menjadi bangsa dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar ke-5 (lima) di 2030 dan keempat di 2050 serta menjadi bangsa dengan jutaan sarjana yang sujana.
Keharusan untuk fokus itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, pada masa itulah (2030 dan 2050), murid SD/MI saat ini adalah pewaris langsung negeri ini.
Studi Indonesia National Assement Program (INAP)-SD yang diluncurkan pada 2018 adalah sebuah survei komprehensif Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Balitbang Kemdikbud dengan sasaran uji murid SD/MI kelas 4 (empat) dan hasilnya sangat menyedihkan meski tidak mengejutkan.
Survei itu mencatat, 77.13 persen lebih murid masih kurang dalam penguasaan matematika, sementara 73.61 persennya kurang dalam penguasaan sains, dan 46.83 persen lainnya kurang dalam penguasaan membaca (sumber:puspendik.kemdikbud.go.id/inap-sd/kategori).
Kita tahu, bahwa matematika, sains dan membaca adalah ilmu atau "alat" dasar yang diukur oleh PISA dan diklasifikasi dalam 6 level. Level 0 dan 1 dianggap paling dasar dan oleh Puspendik disebut "kurang".
Adapun level 2 sd 4 adalah level rerata yg umum dikuasai manusia pembelajar dan Puspendik menyebut dengan "cukup". Sedangkan level 5 dan 6 itu yang sekarang populer dengan level Higher Order Thinking Skills (HOTS).
Sudah sangat jelas, bahwa di abad 21, ketika Indonesia ingin menjadi raksasa PDB ke 4 tersebut, keniscayaan tantangan yang dihadapi adalah Revolusi Industri 4.0, yakni ketika "big data" kawin dengan Internet dan kemajuan Teknologi Informatika. Amazon.com, Bukalapak, Traveloka, OVO adalah sebagian produknya. Membeli tiket KA hingga pesawat dan barang konsumsi untuk sebulan hanya dari depan layar gadget.
Indonesia juga akan niscaya menghadapi produk teknologi "nano" dengan teknologi sel punca, genom (inti sel genetik) di tubuh manusia yang bisa diedit dan hanya ditinggalkan yang baik-baik saja.
Manusia juga niscaya berhadapan dengan Teknologi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) yang akan menggantikan jutaan jenis pekerjaan manusia dan tidak serewel manusia.
Alangkah naifnya jika semua keniscayaan tersebut otomatis mampu dihadapi hanya dengan kompetensi dasar serendah itu, apalagi akan sangat berat menaikkan kompetensi dasar tersebut ketika murid sudah memasuki jenjang SMP/MTs dan SMA/SMK/MA, karena kompetensi dasar tersebut ibarat "kuda kuda" dan "pukulan dasar" dalam ilmu silat, akan sangat rapuh fondasinya ketika memasuki jenjang lanjut.
Ya, karena selama puluhan tahun pemerintah hanya memperhatikan angka partisipasi atau anak yang bersekolah, bukan mutu hasil belajar (Learning Outcome), maka pemerintah gagal mencapai target mutu lulusan SD/MI yang sedikitnya sesuai kurva normal potensi peserta didik dalam matematika, sains dan membaca.
Menghadapi era abad ke-21, manusia Indonesia haruslah berasal dari murid SD/MI yang wajib tuntas dalam kedisiplinan berfikir berlandaskan dengan ketrampilan dasar matematika, sains dan membaca sehingga mampu bersikap rasional dalam kehidupan.
Murid wajib pula tuntas memahami bahwa kehidupan di semua aspek kehidupan di dunia dan di Indonesia adalah beragam, melalui pembelajaran pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan serta sejarah dan ilmu sosial di lingkungan terdekatnya. Kedua fondasi yang oleh Howard Gardner (2011) disebut "Discipline Mind" dan "Respectful Mind" itu wajib dikembangkan sebelum mereka masuk ke jenjang berikutnya.
Di jenjang SMP/MTs hingga perguruan tinggi, mereka akan mematangkan pemikiran yang mampu memilah dan memilih serta menyampaikan gagasan dengan runtun atau biasa disebut befikir sintesa.