KOMPAS.com- Hari ini, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin sudah 100 hari memerintah sejak dilantik pada 20 Oktober 2019.
Berbagai kebijakan telah diluncurkan dalam pemerintahan Joko Widodo Jilid 2 termasuk dalam bidang pendidikan. Salah satu kebijakan di era pemerintahan Jokowi Jilid 2 yang telah diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) adalah paket kebijakan Merdeka Belajar.
Pemerhati dan Praktisi Edukasi 4.0, oleh Indra Charismiadji menyebutkan Kemendikbud harus memulai peningkatan kompetensi para pendidik untuk menjalankan paket kebijakan Merdeka Belajar.
Peningkatan kompetensi para pendidik diperlukan untuk memastikan sumber daya manusia yang unggul sesuai harapan Joko Widodo bisa tercapai.
"Secara konsep, paket Kebijakan Mendikbud sudah tepat. SDM Unggul yang kritis, kolaboratif, komunikatif, kreatif, dan inovatif haruslah SDM yang merdeka," kata Indra dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (28/1/2020).
Ia menyebutkan, implementasi dan aplikasi paket-paket kebijakan Merdeka Belajar ini memiliki tantangan yang tak ringan.
Baca juga: Gebrakan Merdeka Belajar, Berikut 4 Penjelasan Mendikbud Nadiem
Indra menyatakan, Nadiem Makarim menyampaikan bahwa konsep kebijakan Merdeka Belajar membutuhkan guru penggerak, kepala sekolah penggerak, dosen penggerak, guru besar penggerak, rektor penggerak, mereka-mereka yang bergerak atas kesadaran sendiri dan bukan sekedar menjalankan perintah.
"Apabila sistemnya dahulu yang diubah tetapi mindset SDM-nya masih inlander dalam arti belum merdeka pasti hasilnya tidak sesuai," jelasnya.
Ia menilai Nadiem telah menyadari bahwa kunci dari program pendidikan adalah manusianya, bukan sistemnya, bukan teknologinya, bukan kurikulumnya tetapi manusianya.
Dalam salah satu kebijakan pada paket kebijakan Merdeka Belajar, saat salah satu poinnya adalah mengganti Ujian Nasional. Indra menyebutkan, yang muncul di kepala sebagaian besar masyarakat Indonesia adalah tidak perlunya lagi belajar.
"Banyak yang mengatakan bahwa hal ini akan membuat penerus bangsa menjadi lembek dan lemah karena tidak ada dorongan belajar. Pola pikir seperti ini membuktikan bahwa dalam benak orang Indonesia, peserta didik baru mau belajar jika ada UN. Apakah ini bisa disebut mental merdeka?" ujarnya.
Ia menekankan di berbagai belahan dunia, program pembangunan SDM akan selalu dimulai dari guru.
Namun, ia melihat kedua paket Kebijakan Mendikbud, sayangnya tidak menyebutkan sama sekali tentang bagaimana pencetak SDM penggerak untuk mewujudkan kondisi Merdeka Belajar.
"Apakah guru-guru dan dosen-dosen Indonesia sudah merdeka? Atau mereka masih semua bekerja secara rutin dan berdasarkan perintah? Kalau mereka belum merdeka, seperti konsepnya diubah pun tidak akan terjadi perubahan," tambah Indra.
Indra menyebut dirinya takut jika Kemdikbud kembali berfungsi sebagai Event Organizer (EO) semata. EO yang dimaksud adalah membuat banyak kegiatan, menghabiskan ribuan trilyun uang rakyat, tetapi hasilnya kemampuan membaca saja tidak ada perkembangan di 20 tahun terakhir.
"Sekedar info, saat ini guru-guru Indonesia sedang kebingungan untuk membuat RPP 1 lembar, mereka menunggu format resmi dari Kemdibud. Apakah ini yang namanya merdeka?," tutur Indra.