KOMPAS.com - Dalam mengasuh anak-anak, orangtua kadang lupa untuk mengontrol emosinya. Secara tidak sadar melakukan tindak kekerasan terhadap anak-anak. Padahal, kekerasan fisik maupun verbal dapat berdampak negatif terhadap kondisi mental anak di kemudian hari.
Di Indonesia, tindak kekerasan terhadap anak telah diatur dalam UU Nomor 35 tahun 2014 sebagai perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran.
Termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Baca juga: Belajar dari Orangtua Jepang Cara Menanamkan Disiplin pada Anak
Seringkali pemberitaan di media, ada saja orangtua yang menyakiti anaknya hingga berdampak pada kematian anak.
Lalu, apa sajakah tindakan yang tergolong dalam kekerasan terhadap anak? Karena tindakan ini termasuk melanggar hukum yang telah ditetapkan.
“Kekerasan pada anak atau child abuse yaitu semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atau memiliki kuasa atas anak tersebut,” Kata psikolog Universitas Airlangga (Unair) Ika Yuniar Cahyanti dilansir dari laman Unair.
Ika menegaskan bahwa tindakan kekerasan pada anak biasanya dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya dapat dipercaya oleh anak tersebut. Contohnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.
Dosen bidang Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental ini juga menegaskan bahwa tindak kekerasan pada anak dalam jangka panjang dapat berdampak serius terhadap psikologis anak. Parahnya, hal ini juga dapat menyebabkan trauma pada anak.
Baca juga: Mengenal Ikigai, Rahasia Etos Kerja Tinggi dan Karier Cemerlang ala Jepang
“Dampak psikologis kekerasan terhadap anak antara lain penarikan diri, ketakutan, tindak agresif, emosi yang labil, depresi, cemas, merasa minder, merasa tidak berharga, dan lain sebagainya,” tutur Ika.
Ia juga menjelaskan bahwa tindak kekerasan pada anak bahkan dapat menyebabkan gangguan stres pasca trauma bahkan keterlibatan dalam penggunaan zat adiktif.
Untuk menghindari tindakan kekerasan pada anak, Ika menjelaskan bahwa orang tua dapat menerapkan pola positive parenting dalam mendidik dan mengasuh anak mereka. “Positive parenting atau pengasuhan positif adalah pola asuh yang dilakukan secara suportif, konstruktif, dan menyenangkan,” jelas Ika.
.
Pengasuhan positif ini dapat dilakukan dari hal-hal yang sederhana seperti membiasakan menggunakan kata-kata seperti ‘tolong’, ‘maaf’, ‘salam’, ‘permisi’, dan ‘terima kasih’ kepada anak. Selain itu, orang tua juga harus memberikan contoh dan arahan yang baik pada anak mereka jika diperlukan.
“Suportif di sini adalah pemberian perlakuan yang mendukung perkembangan anak. Sedangkan, konstruktif sendiri artinya bersikap positif dengan menghindari kekerasan atau hukuman,” tambahnya lagi.
Baca juga: Bank BCA Buka 9 Lowongan Kerja untuk Lulusan S1-S2
Dalam prinsip pengasuhan positif, menurut Ika hendaklah tanggung jawab pengasuhan tidak hanya dibebankan kepada sosok ibu saja. Namun, akan sangat baik jika ayah anak juga memahami pola pengasuhan ini agar dapat memberikan dampak yang lebih baik ke depannya.
“Memberikan kepercayaan anak sebagai problem solver juga efektif untuk menerapkan pola pengasuhan positif ini. Jangan lupa juga untuk mengajarkan anak tentang disiplin waktu, tanggung jawab terhadap tugas serta barang miliknya, dan norma yang berlaku di masyarakat,” tegas Ketua Unit Terapan Fakultas Psikologi Unair itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.