Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suka Pamer Kekayaan, Psikolog UM Surabaya Sebut Sindrom Ini

Kompas.com - 19/03/2022, 13:08 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Albertus Adit

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pamer kekayaan, sepertinya jadi kebiasaan baru bagi beberapa orang. Apalagi, setelah banyaknya "crazy rich" muncul di berbagai platform media sosial yang saling berlomba menunjukkan gaya hidup mewah.

Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Surabaya Dewi Ilma Antawati mengatakan,  seseorang yang pamer harta biasanya disebut flexing.

Ilma menjelaskan perilaku flexing merupakan perilaku instingtif dalam menjalin relasi.

Ia memberikan perumpamaan seekor merak akan memamerkan ekor indahnya untuk menarik perhatian lawan jenisnya.

“Pada manusia dalam ilmu psikologi sosial menyebutkan bahwa memamerkan sesuatu yang dimiliki dilakukan untuk menunjukkan status sosial seseorang, dengan harapan lebih menarik di mata orang lain sehingga dapat memperluas pergaulan,” ujar Ilma dilansir dari laman UM Surabaya.

Baca juga: Waspada Penipuan Berkedok Asmara, Ini Cirinya Menurut Pakar Unair

Sementara itu dalam psikologi klinis perilaku flexing dikaitkan dengan rasa tidak aman (insecurity) yang dimiliki seseorang.

Sehingga ada dorongan untuk memamerkan apa yang menurutnya unggul pada orang lain.

“Itulah sebabnya ada orang yang merasa tidak percaya diri datang ke pesta atau acara-acara tertentu jika tidak mengenakan barang yang bermerek, dan lebih nyaman jika datang mengenakan barang bermerek, karena adanya kekhawatiran tidak diterima atau dianggap rendah oleh orang lain,” katanya lagi.

Baca juga: Ciri Sindrom Pick Me Girl, Kenali Tandanya dari Psikolog Unair

Ilma menjelaskan perilaku flexing dapat berdampak pada relasi dengan orang lain, khususnya ketika berada di lingkungan baru.

Penelitian menunjukkan bahwa ketika seseorang memamerkan apa yang dimilikinya justru membuatnya menjadi sulit bergaul atau diterima oleh orang lain.

Dalam hasil penelitian, banyaknya komentar negatif pada konten media sosial yang berisikan perilaku flexing secara finansial juga berdampak meningkatkan konsumerisme.

Karena perilaku belanja dilakukan untuk meningkatkan status sosial, bukan murni karena kebutuhan.

Lebih lanjut lagi ia memberikan penjelasan bagaimana masyarakat menyikapi flexing.

Baca juga: Dosen UB: Kepala Daerah yang Korupsi Punya Mental Miskin

Jika dalam posisi pengamat, maka respon masyarakat tidak perlu berlebihan terhadap orang yang melakukan flexing. Masyarakat cukup memahami mengapa seseorang melakukan hal tersebut.

“Untuk mencegah agar kita tidak menjadi pelaku, maka kita perlu mengenal kekuatan dan kelemahan diri, menerima kekuatan dan memaafkan kelemahan yang dimiliki, berusaha terus melakukan pengembangan diri, serta meningkatkan empati dengan cara memperbanyak kegiatan sosial dan berbagi dengan orang lain,” tukasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com