KOMPAS.com - Psikolog anak Seto Mulyadi atau akrab disapa Kak Seto ikut prihatin dengan pengaruh negatif dari game dan konten lainnya yang mengandung unsur kekerasan. Ia menilai, maraknya kekerasan di kalangan anak dapat dipicu dengan dua hal itu.
Oleh karenanya, ia mendorong pemerintah untuk mengambil peran tegas sebagai cara melindungi anak-anak.
Kak Seto menjelaskan bahwa anak membutuhkan rangsangan positif selama masa pertumbuhan dan perkembangan. Ia menilai karakter baik, seperti berakhlak mulia, gotong royong, dan kompak, bisa dibangun dan ditumbuhkandari konten atau sumber yang dikonsumsi.
"Bisa dari buku, lagu, tayangan televisi, dan game. Celakanya, jika konten-konten tersebut memiliki unsur kekerasan, yang tumbuh pada anak-anak bukan karakter yang positif, melainkan karakter," ujarnya dalam rilis yang diterima Kompas.com, Jumat (12/4/2024).
Ia juga prihatin dengan aksi kekerasan yang melibatkan anak-anak. Menyoroti kasus bullying, kata dia, kini bentuknya tak lagi ejekan atau verbal saja, tetapi juga kekerasan fisik.Bahkan, dalam beberapa kasus dianggapnya tak lagi manusiawi.
Baca juga: KPAI Minta Kemenkominfo Blokir Game Online Berbau Kekerasan
Kasus lain yang juga memprihatinkan menurutnya adalah geng motor yang melibatkan anak-anak dan berujung kekerasan saling serang. Perilaku seperti ini bisa dicontoh anak-anak melalui tayangan dalam sejumlah game dan film.
Untuk itu, ia mendorong pemerintah, khususnya Kemenkominfo untuk bertinddak tegas dengan membersihkan game dan konten yang mengandung unsur kekerasan.
"Kemenkominfo punya sumber daya untuk melakukan itu. Jangan sampai terlambat," jelasnya.
Selain unsur kekerasan, konten negatif lain seperti pornografi dan radikalisme juga ia garisbawahi untuk dijauhkan dari anak-anak.
Pada kesempatan terpisah, Psikolog Stenny Prawitasari turut angkat bicra mengenai dampak buruk game online bergenre battle royale, seperti Free Fire.
Ia menilai, game seperti itu berisiko memengaruhi kesehatan mental dan emosional anak-anak.
"Game seperti Free Fire mengandung adegan kekerasan yang intens, termasuk pertempuran dan penggunaan senjata. Bermain game semacam ini secara berulang dapat membuat anak-anak menjadi desensitisasi terhadap kekerasan, di mana mereka mungkin menjadi kurang peka terhadap konsekuensi nyata dari tindakan kekerasan," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa beberapa penelitian menunjukkan korelasi antara bermain game dan peningkatan agresi pada anak-anak.
Baca juga: 8 Dampak Game Online bagi Pelajar, Salah Satunya Jadi Mudah Marah
Dalam lingkungan yang kompetitif seperti game bergenre battle royale, anak-anak lebih rentan terhadap perilaku agresif, seperti berkata kasar atau mengekspresikan kemarahan saat kalah dalam permainan. Ini juga dapat menyebabkan keterlambatan dalam perkembangan keterampilan sosial dan kemampuan berkomunikasi anak-anak.
Stenny menegaskan bahwa pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih serius terhadap permasalahan dampak game online pada anak-anak. Hal ini memerlukan upaya untuk memperketat regulasi dan aturan yang mengatur penggunaan game online, khususnya bagi kalangan anak-anak.
Pentingnya regulasi bertujuan juga terhadap kesehatan mental dan emosional anak-anak. Pembatasan akses dan pengawasan terhadap konten game yang mengandung kekerasan dan tidak sesuai dengan usia anak perlu diperkuat untuk melindungi generasi mendatang dari potensi dampak negatif.
Tidak hanya pemerintah, peran orangtua juga sangat vital dalam menjaga kesehatan mental anak-anak dalam bermain game online. Orangtua perlu terlibat secara aktif dalam memantau dan mengatur waktu bermain game anak-anak, serta memberikan pengarahan yang tepat tentang konten yang aman dan sesuai dengan usia mereka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.