Ingat Efeknya... Biarkan Anak Tumbuh Sesuai Usianya!

Kompas.com - 14/10/2013, 16:18 WIB
Oleh: Ratih Zulhaqi

Berbicara tentang tahap tumbuh-kembang anak terbagi menjadi beberapa fase. Pertama, usia anak 0 bulan sampai 2 tahun. Ini adalah fase paling membutuhkan stimulasi motorik, karena pada fase ini anak akan banyak melalui kemampuan-kemampuan motorik kasar, seperti tengkurap, duduk, merangkak dan berjalan.

Namun, selain stimulasi difokuskan pada perkembangan motorik anak, orang tua juga perlu memberikan stimulasi awal bahasa. Setelah 2 tahun, fase menuju fokus stimulus bahasa dengan tujuan interaksi dan komunikasi sebagai persiapan menuju usia 3 tahun, yaitu fase interaksi dan sosialisasi. Pada fase ini, anak sudah mengerti keberadaan teman. 

Memasuki usia 4 tahun, anak berada dalam usia kemandirian. Di sini anak mulai diperkenalkan aturan kemandirian dan tanggung jawab, misalnya memakai sepatu dan makan sendiri. Sedangkan pada usia 5 tahun, anak dipersiapkan memasuki sekolah dasar, tetapi tidak bersifat memaksa.

Fase berikutnya adalah usia 6 tahun, yaitu usia anak mulai melakukan pendidikan formal. Pada usia ini sudah ada aturan yang jelas, yaitu belajar di dalam kelas dan tidak lagi banyak main-main walaupun masih ada sisi bermainnya.

Belum saatnya

Kondisi yang terjadi di Indonesia, khususnya di Jakarta, saat ini adalah banyaknya anak usia taman kanak-kanak (TK) sudah diajarkan membaca, menulis dan berhitung (calistung). Tentunya, jika hal ini dipaksakan, tidak akan efektif dan pasti akan ada efeknya mengingat anak pada usia prasekolah akan optimal jika diberi stimulasi atau rangsangan motorik dan bahasa sesuai fase tumbuhkembang anak.

Faktanya, tidak akan ada bedanya antara anak yang bisa membaca pada umur 4 tahun dengan anak bisa membaca di usia 6 tahun. Hal itu tidak lantas membuat anak umur 4 tahun ini menjadi superior. Justru, biarkan mereka bisa pada saatnya, karena di situlah keindahannya. Sebaiknya lakukan stimulasi sesuai dengan usia anak, namun hal ini dikembalikan pada pola asuh yang diterapkan orangtua.

Saat ini banyak ditemukan kasus efek dari anak diperkenalkan calistung pada usia dini. Misalnya, anak mogok sekolah, cepat merasa bosan, dan kurang konsentrasi belajar.

Anak belum mempunyai kesiapan mental walau secara daya pikir anak usia 3 tahun pun bisa untuk diajari membaca dengan penuh semangat. Idealnya, kembalikan hak anak kepada situasi yang sesuai dengan kondisi psikis anak, yaitu jika memang seharusnya membaca itu diajarkan di kelas 1 SD.

Perlu atau tidak anak mengikuti kegiatan prasekolah disesuaikan dengan kondisi dan keadaan, seperti dimana tempat anak itu tinggal, maupun ada tidak seseorang yang memberikan stimulasi.

Anak yang tinggal di lingkungan yang banyak anak kecil seusianya dan mereka bisa bermain, tidak perlu ikut prasekolah seperti kelompok bermain atau TK A. Sementara, TK B agak penting karena cenderung memberi pengenalan dan pesiapan untuk memasuki SD.

Kondisinya saat ini, banyak orang tua yang bekerja dan tidak mempunyai banyak waktu untuk mengajari anaknya, sehingga mereka memasukkan anaknya ke institusi yang sifatnya lembaga seperti TK.

Mengenai bentuk penguasaan bahasa, diperbolehkan selama anak sudah memegang satu bahasa yang sudah dikuasai. Namun, sebaiknya orangtua fokus terlebih dahulu mengajarkan anak satu bahasa utama, kemudian diperkenalkan dengan bahasa lainnya seperti bahasa Arab, Inggris, ataupun bahasa daerah. Jika memang anak belum bisa, dapat kembali berkomunikasi menggunakan bahasa ibu.

Kecerdasan bahasa memang penting. Namun, harus ada bahasa yang total dikuasai terlebih dahulu sebagai pegangan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau