Pendidikan yang "Memerdekakan" dan "Membangkitkan", Bukan yang "Cupu"...

Kompas.com - 20/05/2015, 11:22 WIB
Latief

Penulis

Ya, pendidikan kita memang masih bersifat normatif. Bahkan, pendidikan agama yang seharusnya sarat muatan eksploratif dan analitis, akhirnya hanya bersifat dogmatis dan normatif. Bagaimana mungkin tingkat ketakwaan hanya diukur dari sisi 'knowledge', dan bukan penerapan nilai-nilai agama itu sendiri?

Cobalah memberi kuliah atau seminar di universitas-universitas di negeri ini. Coba kita amati barisan kursi yang manakah yang terisi terlebih dahulu? Coba kita amati, apakah kita langsung dibombardir dengan pertanyaan setelah selesai presentasi?

Entah mengapa, mulai forum-forum seminar di hotel berbintang, sampai kuliah umum di universitas ternama, kursi deretan paling belakanglah yang selalu terisi lebih dulu. Lalu, entah mengapa, siswa baru berani bertanya jika sudah ada yang bertanya lebih dulu. Mereka takut salah, takut pertanyaannya dianggap tidak berkualitas, --yang dalam bahasa anak zaman sekarang disebut 'culun punya' alias 'cupu', sehingga memborgol pertanyaan dan rasa ingin tahu yang mungkin sudah ada di benak mereka. Buntu!

Sebaliknya, banyak dosen di universitas-universitas di luar negeri mengeluhkan minimnya keaktifan mahasiswa Indonesia dalam bertanya atau berpendapat, apalagi berdebat di ruang kuliah. Padahal, justru melalui hal itulah dinamika 'pencarian ilmu' dan proses pencerahan berlangsung.

Kalau siswa masih menganggap UN sebagai momok, jika siswa masih menganggap juara olimpiade sains lebih bergengsi dibandingkan juara lomba drama, bila profesi PNS atau bekerja di perusahaan multi nasional dianggap lebih fancy daripada punya gerai ayam goreng yang dibangun dan dikelola sendiri, rasanya pendidikan kita malah justru mengkerdilkan dan bukan memerdekakan bangsa ini.

Daya saing global dan pendidikan yang merdeka

Pendidikan seharusnya memberi kemerdekaan untuk menginterpretasikan keinginan, ambisi, dan semangat tanpa dibatasi pakem, bahkan 'norma'. Pendidikan yang memerdekakan seharusnya memberi ruang untuk siswa berani menentukan keputusan sendiri, berkreasi,dan mengambil risiko. Pendidikan yang memerdekakan akan bermuara pada kebangkitan!

Soekarno, Habibie, Gus Dur, Hatta, bukanlah produk dari pendidikan yang kerdil. Mereka beruntung dapat berguru dari sumber ilmu yang memberi ruang bagi ide-ide 'gila' dan 'nyeleneh'. Nasionalisme, industri strategis, pluralisme dan ekonomi kerakyatan adalah buah pendidikan yang memerdekakan siswa didik.

Semakin terbukanya dunia, maka siswa semakin dituntut memiliki mental eksploratif, kreatif dan kritis. Bagaimana mungkin kita bisa unggul di tingkat global dan regional, jika pola pendidikan kita masih terkukung oleh pendidikan kognitif semata, yang tidak membangkitkan sisi rasa dan humanisme?

Khalifah

Allah SWT bersabda: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka: Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau? Dia berkata: Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS Al Baqarah :30).

Tuhan tentu punya misi khusus bagi manusia. Tuhan menciptakan manusia menjadi 'alat-Nya' untuk menyatakan Kuasa-Nya yang masih Dia 'sembunyikan' dalam alam ini. Manusia diharapkan dapat membongkar rahasia semesta. Rahasia kebesaran Allah SWT. Karena itulah, manusia dijadikan "khalifah". Di situlah letak kemuliaan kita sebagai mahluk-Nya.

Dengan prinsip itulah, sekali lagi, harusnya kita sadar bahwa pendidikan yang memerdekakan dan membangkitkan bukanlah pendidikan kerdil yang menghasilkan manusia berkarakter Firaun dan berkarakter iblis, yang terus menerus merusak bumi dan isinya.

Terinspirasi pembahasan buku "Pustaka Wedha Sasangka", pendidikan yang memerdekakan dan membangkitkan adalah pendidikan yang melahirkan para khalifah, para prabu, yaitu manusia-manusia matang dan unggul. Pendidikan yang memerdekakan dan membangkitkan adalah pendidikan yang juga melahirkan para rahadian, yaitu manusia-manusia unggul dan menang, bukan manusia-manusia cupu!

Selamat memaknai Hari Kebangkitan Nasional!

Penulis adalah pemerhati pendidikan dan bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office di Jakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau