KOMPAS.com — Indonesia merupakan sebuah negara yang luas, dengan budaya, bahasa, dan kepercayaan yang amat beragam. Namun, di tengah keragaman itu, ada kesamaan persepsi yang dapat saya simpulkan setelah bercengkerama dengan banyak orangtua dan dewasa di berbagai lokasi di Nusantara.
Mereka memiliki mimpi agar anak mereka dapat sekolah setinggi-tingginya, dan mereka rela bekerja keras menguras keringat agar anaknya dapat bersekolah.
Sebuah riset dari Universitas Columbia di New York menyatakan, di negara berkembang, yang di sini saya asumsikan termasuk Indonesia, pendidikan tetap dianggap sebagai sebuah golden ticket.
Dengan bekal pendidikan, anak-anak dianggap dapat mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Mereka yang berijazah bisa mendapatkan pekerjaan yang baik dengan gaji yang mencukupi kebutuhan hidupnya.
Sementara itu, data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2012 menunjukkan, angka partisipasi siswa menurun dari satu jenjang ke jenjang berikutnya.
Dari 100 persen anak Indonesia yang duduk di bangku SD, 83 persen bertahan selama enam tahun dan lulus. Tidak semuanya melanjutkan ke tingkat SMP karena hanya 66 persen anak Indonesia yang mengenyam pendidikan lanjutan.
Angka partisipasi ini semakin kecil, dan pada akhirnya 40 persen dari generasi muda Indonesia lulus SMA atau sederajat. Fakta ini bertentangan dengan mimpi para orangtua untuk mengantarkan anak-anaknya bersekolah.
Ujung-ujungnya duit
Kembali melihat secara khusus ke negara berkembang, pada setiap diskusi isu sosial, pastinya kita juga harus melihat unsur ekonomi dalam isu tersebut. Tidak sedikit siswa sekolah yang masih harus bekerja, baik di ladang maupun di warung. Hari-hari mereka dibagi antara menerima ilmu di sekolah dan mencari tambahan uang untuk keluarga.
Yang mereka dapatkan di sekolah adalah bekal pengetahuan abstrak yang mungkin tidak dapat diaplikasikan dalam kehidupan secara langsung.
Sementara itu, saat bekerja, mereka menerima kertas rupiah yang dapat ditukarkan dengan beras, telur, atau terkadang, es puter. Tak heran jika daya tahan mereka di sekolah pun lama-kelamaan luntur. Uang yang didapatkan dari bekerja terasa lebih nyata. Uang itu menyambung kehidupan.
Ketika kebutuhan akan pendidikan disandingkan dengan kebutuhan sehari-hari, tentu pendidikan tidak akan menang. Ilmu adalah sesuatu yang intangible (tanpa wujud), yang di sekolah biasanya dikuantifikasikan dalam nilai angka atau huruf.
Selain itu, ilmu merupakan bekal untuk masa depan. Fungsionalitasnya jangka panjang. Di luar kemampuan membaca dan menulis, kadang kita tidak pernah tahu kapan kita akan menggunakan ilmu yang kita pelajari di sekolah.
Selanjutnya, jika kita bicara ilmu, akses informasi yang luas dengan internet membuat semua orang dapat belajar apa saja. Beberapa minggu lalu, saya melihat seorang tukang bangunan menonton video di YouTube. Ia sedang belajar cara memasang bebatuan di dinding.
Kebutuhan akan ilmu dapat dipuaskan oleh berbagai search engine. Lalu, apa fungsi sekolah, jika ia selalu kehilangan prioritas dibandingkan dengan kebutuhan sehari-hari, dan terlebih jika sumber pengetahuan dapat digantikan oleh internet?