Makin Kompetitif, Bagaimana Cara Tembus Beasiswa ke Belanda?

Kompas.com - 06/06/2016, 14:03 WIB
Sri Noviyanti

Penulis

 JAKARTA, KOMPAS.com – Jumlah mahasiswa Indonesia yang melanjutkan pendidikan di Belanda bisa meningkat sampai 15 persen per tahun. Dengan begitu, jalur beasiswa pun mulai susah diburu.

Hal itu bisa dilihat dari salah satu program beasiswa yang difasilitasi oleh pemerintah Belanda, StuNed (Studeren in Nederland). Kalau tahun lalu, program ini meloloskan 103 penerima beasiswa, kini jumlahnya berkurang.

"Lebih kompetitif. Jumlah aplikasi yang masuk tiap tahunnya meningkat, tapi yang kami loloskan saat ini hanya 60 orang," ujar direktur Nuffic Neso Indonesia, Mervin Bakker pada Welcoming Session penerima beasiswa di Jakarta, Sabtu (4/6/2016).

Berbeda dengan kebanyakan program beasiswa yang mengharuskan calon penerima mengikuti tes wawancara dan membuat motivation letter, StuNed justru menghilangkan kewajiban itu. Sebagai gantinya, ada tiga pertanyaan yang harus dijawab peserta menggunakan kalimat berbahasa Inggris.

"Tiga pertanyaan yang menunjukkan motivasi kita, yaitu hubungan dengan karier, hubungan dengan bidang yang diinginkan, serta hubungannya dengan Indonesia. Masing-masing pertanyaan dijawab dengan maksimal 250 kata. Ini yang membutuhkann konsentrasi lebih,” kata salah satu penerima beasiswa, Reza Ambardi Pradana.

Reza sudah diterima di Delft University of Technologi jurusan Urbanisme. Sebelumnya, ia mengambil jurusan arsitektur saat program sarjana. Lalu, selama dua tahun, ia bekerja dalam bidang urban planning di Singapura.

Nuffic Neso Para penerima beasiswa StuNed 2016.

Meski karier dan pendidikan yang akan ditempuhnya nanti terlihat masih linear, bukan berarti tiga pertanyaan dalam form bisa mudah dijawabnya.

"Untuk menjawab pertanyaan itu, ada persiapan yang saya lakukan. Salah satunya berdiskusi dengan banyak orang termasuk ibu (saya) yang kebetulan adalah seorang dosen, sebab beda menulis aplikasi untuk kerja dan pendidikan," tambahnya.

Menurut Reza, menulis aplikasi untuk pendidikan harus ideal. Paling tidak, katanya, calon penerima beasiswa sudah paham ilmu apa yang diambilnya sehingga tahu hubungan dengan dunia karier, dan bagaimana berkontribusi pada negara kelak.

"Kalau paham, kita sendiri bisa menjelaskannya secara ringkas, jelas dan spesifik," imbuhnya.

Kini, beberapa persiapan keberangatan sedang disiapkannya. Selain keperluan administrasi, Reza cukup percaya diri kalau ia siap belajar di Belanda.

"Waktu kerja di Singapura, saya berinteraksi dan diskusi dengan banyak orang yang latar belakangnya macam-macam. Mereka datang dari banyak negara. Itu yang saya jadikan bekal," ujar Reza.

Berbeda dengan penerima beasiswa lainnya, Riski Gusri Utami (23) yang mengambil jurusan Plant Bio Technology di Wageningen University. Persiapan dilakukannya secara autotodidak.

"Saya ingat waktu itu termotivasi kuliah di luar negeri karena teman-teman kuliah banyak yang berencana seperti itu, tetapi bekal bahasa Inggris saja tidak ada," ujar perempuan asal Payakumbuh, Sumatera Barat, ini.

Sebelumnya, Ami, begitu biasa disapa, tertarik dengan pendidikan luar negeri, karena jurusan kuliah yang ingin didalaminya tidak tersedia di Indonesia. Untuk itu, skill bahasa Inggris yang selama ini menjadi kendala segera dia atasi.

Halaman:
Baca tentang


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau