Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irwan Suhanda
Editor dan Penulis

Editor dan Penulis

Mengejek

Kompas.com - 05/04/2017, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

Membaca dua kisah nyata Si Bisu dan Si Pincang di atas, maka ejekan yang ditimpakan kepada mereka sesungguhnya sudah termasuk "bullying secara verbal". Di dalamnya sudah mengandung unsur mengejek, mengolok-olok, menertawakan, mencemooh yang dilakukan secara sengaja dan terus-menerus yang bertujuan menyakiti walaupun terkesan bercanda.

Sedihnya, korbannya kali ini adalah kaum difabel, penyandang cacat fisik, bisu tuli dan pincang. Mereka mendapat perlakuan tidak layak secara verbal dan nonverbal. Verbal berupa ejekan, sedangkan nonverbal berupa kekerasan fisik.

Mereka yang mengejek Si Bisu dan Si Pincang hanya memandang sebagai hal yang lucu kala melihat orang cacat dibandingkan mereka yang normal. Sebaliknya, mereka tidak menyadari perbuatan mereka sudah menyakiti penyandang cacat. Atau bisa jadi posisi mereka sebagai si kuat berhadapan dengan si lemah, jadi bisa berbuat seenaknya.

Psikolog klinis Liza Marielly Djaprie yang dikutip dari Metrotvnews.com (2016) mengatakan bahwa ejekan atau bullying verbal tidak meninggalkan bekas luka, namun akibat yang ditimbulkan bisa mematikan.

"Verbal bullying tidak ada efek tapi mematikan, menikam. Berdasarkan penelitian, tingkat bunuh diri justru paling banyak justru disebabkan oleh verbal dan cyberbullying. Karena verbal bullying dapat membuat orang menjadi tidak percaya dan memandang rendah dirinya. Sehingga, korban merasa dirinya tidak berharga dan akhirnya bisa menyakiti diri sendiri bahkan bisa bunuh diri."

Berdasarkan data yang dihimpun Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) baru-baru ini yang dikutip dari Metrotvnews.com (2016), seseorang yang mendapat bullying di dunia maya yaitu dengan ejekan (52 persen), fitnah (30,3 persen), kejelekannya tersebar (9,6 persen), dan dikirimi materi porno (sekitar 3 persen).

Sebaliknya, para pelaku melakukan bullying karena iseng (49 persen), jengkel dengan korban (36 persen), balas dendam (7 persen), dan ikut-ikutan (4 persen).

Hingga saat ini, bullying terus terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Pencegahannya semakin sulit karena bullying kini bermain juga di dunia maya.

Guna mencegah praktik bullying, yang diambil dari berbagai sumber, pertama, pengawasan guru di sekolah terhadap perilaku siswa terus dilakukan secara rutin. Di dalamnya tentang tata krama, empati, simpati, tanggung jawab, hukuman bila bersalah, saling menghargai teman, menghargai guru, termasuk penjaga sekolah.

Kedua, pengawasan orangtua pada anaknya sendiri yang meliputi memantau pergaulan anak, memperhatikan interaksi sosial media yang dilakukan anak. Orangtua pun harus menanamkan sifat religius anak, mengajarkan saling menghormati, toleran terhadap perbedaan, menanamkan rasa percaya diri, dan patuh terhadap orangtua.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com