Minim informasi
Keahlian menemukan dan mendeskripsikan berbagai macam katak spesies baru itu tak didapat Djoko dengan mudah. Minimnya data membuat dia harus mengawali studi katak dari penduduk kampung hingga berkorespondensi dengan ahli katak terkemuka dunia.
Satu per satu peneliti katak dunia dia kirimi surat berisi pertanyaan dan penelitian tentang katak di Asia atau Indonesia. Peneliti hewan terkenal dunia yang dihubunginya antara lain RF Inger.
"Jawabannya memakan waktu yang lama. Saat itu teknologi belum maju karena kami hanya memakai jasa pos. Namun, hati saya sangat senang karena data yang diberikan banyak dan lengkap," kata pengajar Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB ini.
Ia juga banyak belajar dari penduduk lokal. Salah satu pengalamannya ketika mencari katak di hutan Sulawesi tahun 1990-an. Sebagai orang baru di dunia katak, ia bersemangat masuk hutan hendak mencari katak pada siang hari. Namun, hal itu justru mengundang tanya penduduk setempat.
Seorang penduduk mengatakan, mencari katak pada siang hari itu tindakan sia-sia. Waktu ideal mencari katak ternyata malam hari. Dia sadar, pengalamannya di dunia katak belum banyak.
Hal serupa dia alami ketika mencari katak kepala pipih di Kalimantan pada 2007. Ia buta tentang tempat tinggal dan cara hidup katak kepala pipih. Satu-satunya informasi adalah katak yang pernah dibawa temannya, seorang ahli ikan, dari Kalimantan tahun 1978. Jadilah, hingga hari ke-10 ia belum menemukan si kepala pipih. Padahal, biasanya katak dengan informasi lengkap bisa ditemukan dengan segera.
Baru pada hari ke-12, timnya menemukan dua ekor katak kepala pipih yang hidup di bawah batu sekitar sungai. Namun, saat hendak diteliti dan dimasukkan ke dalam ember, katak itu mati.
"Sampai mati dua ekor katak. Setelah dibedah, baru diketahui dia tak punya paru-paru. Katak itu ternyata bernapas menggunakan kulit," katanya.
Meski telah menemukan berbagai katak spesies baru, Djoko belum merasa puas. Ia yakin, masih banyak jenis katak lain yang hidup dan belum pernah ditemukan di Indonesia.