Minimnya informasi itu adalah ironi. Sebab, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah spesies katak yang banyak, tetapi tak lebih dari 20 peneliti katak di negeri ini.
"Berbeda dengan negara-negara di Eropa. Di tiap negara minimal ada seorang herpetolog. Data yang dimiliki sangat lengkap, dari nenek moyang katak hingga yang kini masih hidup. Padahal, di dataran Eropa katak hanya sekitar 40 jenis," ujarnya.
Warisan dunia
Belajar dari pengalaman itu, Djoko mulai rajin menulis buku dan publikasi di berbagai tempat. Hingga kini 68 publikasi internasional dan sembilan buku telah diterbitkan. Selain itu, 45 publikasi nasional dan 10 buku bisa dinikmati masyarakat.
Bahkan, lebih dari 100 presentasi internasional dan nasional telah dia lakukan. Tempatnya pun bermacam-macam, dari ruang seminar internasional di Singapura hingga kebun binatang di Bandung.
Akan tetapi, menurut Djoko, usaha itu harus ditingkatkan, terutama dengan menambah jumlah peneliti katak. Meski tak berpotensi menambah pundi harta peneliti, penelitian katak adalah usaha pertanggungjawaban pada keanekaragaman hayati Indonesia. Bahkan, mungkin suatu hari nanti ada kegunaan lain dari hasil penelitian berbagai katak tersebut.
Katak, diyakini Djoko, bisa dipublikasikan, baik sebagai lambang daerah atau taman nasional. Dia berharap, setelah dikenal masyarakat, ekosistem dan keberlangsungan hidup katak bisa terjaga.
Selain itu, masih banyak kemungkinan yang bisa digali. Contohnya, berbagai pertanyaan pada penelitian katak berkepala pipih.
"Dunia ini masih memiliki banyak ilmu yang belum digali. Tugas semua pihak adalah hadir di sana, mencari ide baru, lantas mengabarkannya kepada semua orang. Itulah inti dari hadirnya ilmu dalam masyarakat," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.