Untuk cerita rakyat, misalnya, Syamsiar telah menghasilkan lebih dari 12 judul buku. Terkait dengan pantun dan peribahasa Banjar, ada tiga buku.
Selain itu, ia juga membuat tiga jilid buku Lancar Basa Banjar yang menjadi buku pegangan sekolah dasar di Kalsel. Masih ada lagi tiga buku karya Syamsiar tentang Islam dan budaya Banjar.
Dia juga menulis buku tentang beberapa tokoh semasa Kerajaan Banjar dan saat kemerdekaan, di antaranya Hassan Basry, Bapak Gerilya Kalimantan, yang diterbitkan Lembaga Studi Perjuangan dan Kepahlawanan Kalsel (1999).
Tulisan tangan
Syamsiar sudah menekuni dunia tulis-menulis sejak duduk di kelas II SMP di Barabai. Tulisan pertamanya adalah cerita rakyat, Batu Benawa di Barabai, dimuat di majalah Kunang-Kunang terbitan Balai Pustaka (1952).
”Saya tidak diberi honor untuk tulisan itu, tetapi dikirimi buku Siti Nurbaya dan majalah yang memuat tulisan saya. Itulah yang membuat saya terus menulis,” katanya.
Sebelum usia 40 tahun, Syamsiar tak mengkhususkan diri menulis buku tentang budaya Banjar. Dia justru lebih banyak menulis cerita pendek, puisi, dan pantun. Selain media lokal, beberapa tulisannya pada kurun tahun 1955–1986 juga dimuat sejumlah surat kabar dan majalah di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.
Syamsiar sedikitnya sudah menulis 78 puisi, 146 cerpen, 9 naskah drama, 6 lagu nasional dan daerah, 327 artikel, 58 makalah tentang budaya Banjar, dan sekitar 50 buku terkait arsitektur, seni, dan cerita rakyat Banjar.
”Sebagian tulisan itu saya buat dengan tulisan tangan,” katanya.
Di usia lanjut, Syamsiar masih membuat buku dengan tulisan tangan. Tulisan tangan itu dia serahkan kepada penerbit untuk diketik ulang, kemudian dibukukan. Dia tak memilih penerbit di Jawa, tetapi penerbit lokal di Banjarmasin, mengingat besarnya biaya untuk itu. Dia beruntung karena selalu ada penerbit lokal yang mau menerbitkan karyanya dengan cetakan di bawah 1.000 eksemplar.