Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pendidikan Multikultural di Yogyakarta

Kompas.com - 04/11/2009, 11:34 WIB

Karena itu, menjadi seorang multikulturalis menjadi seakan-akan pisau bermata dua dan bak buah simalakama. Tidak mempergunakan maka akan mengenai dirinya, tetapi menggunakannya juga penuh risiko negatif harus ditanggung. Dia bisa membunuh diri sendiri sekaligus dibunuh orang lain. Inilah persoalan dilema-dilema yang sangat serius dalam diskursus multikulturalisme.

Memerhatikan demikian problematiknya persoalan multikulturalisme, pendidikan multikulturalisme, hemat saya, memang harus dikenalkan sejak dini dan sejak sekarang karena memperlambat memperkenalkan persoalan multikulturalisme sama dengan memberikan tandonan benih-benih konflik yang akan sangat berbahaya. Mengapa konflik yang akan menjadi bagian dari multikulturalisme?

Hal ini karena konsep multikulturalisme sendiri di negeri ini sekalipun sudah berjalan beratus-ratus tahun dalam praksis kehidupan baru diteorikan sejak awal 1990-an itu pun di kawasan Eropa dan Amerika bukan di Indonesia. Pendeknya, di negeri multikultural sendiri masih gagap mendiskusikan soal multikulturalisme.

Untuk mengurangi kegagapan dan kegaguan dalam mendiskusikan dan mempraktikkan multikulturalisme harus dimulai sejak dini, dan diperkenalkan di sekolah-sekolah yang secara reguler menerima siswa didik baik mereka berumur sekolah dasar maupun berumur perguruan tingggi.

Dengan memperkenalkan diskursus multikulturalisme dalam dunia pendidikan melalui kurikulum pendidikan berperspektif multikultur, lambat laun, namun pasti identitas Yogyakarta sebagai kota budaya, kota toleran, kota multi-SARA akan tetap terjaga di saat gempuran gethoisme, parokialisme, serta sektarianisme semakin semarak.

Kita jadikan Yogyakarta dengan pendidikan berbasis dan berperspektif multikulturalisme sehingga di masa-masa mendatang kita akan tetap menciptakan sikap dan perilaku toleran di saat sebagian dari kita bersikap intoleran dan agak antikeragaman. Pendidikan itulah kunci utamanya, bukan yang lain.

Tentu banyak dari kita tidak menghendaki bila Yogyakarta yang dicintai lalu menjadi kota "syariah" atau "kota agama" karena dominannya aspek agama menjadi bagian dari aturan dalam tata kelola kenegaraan (pemerintahan). Buat saya, cukuplah Yogyakarta dengan warna yang sekarang ini: berkultur abangan, santri, dan priayi bukan berkultur "murni santri" atau "murni abangan" atau "murni priayi".

Selamatkan Yogyakarta dengan pendidikan multikultural adalah jalan yang harus ditempuh oleh para pegiat kebangsaan, para pegiat keagamaan, para pegiat pendidikan, para seniman, dan para pegiat apa saja. Zuly Qodir Pendidik di Sekolah Pascasarjana UGM dan Ilmu Pemerintahan Fisipol UMY, Yogyakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com