Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Betapa Susahnya Saya Cari Sekolah

Kompas.com - 20/11/2009, 10:05 WIB

Belajar dari pengalaman, pada 1990 orang tua saya bersama orang tua lain yang senasib sepenanggungan ini membentuk suatu komunitas. Tujuannya, kami bisa saling membantu dan berbagi cerita tentang pengalamannya bersama anak-anak yang tuna rungu.

Akhirnya, pada tahun 2004, komunitas ini mulai dilegalkan dengan nama Yayasan Aurica. Tujuan yayasan ini, seperti yang sudah disebutkan di atas, untuk mengajarkan anak tuna rungu berbicara, mendengar dan berbahasa verbal, serta mendorong mereka untuk mampu bersosialisasi dengan masyarakat luas, serta kelak mampu menjadi warga masyarakat yang aktif memberikan kontribusinya bagi Negara.

Murid-murid yayasan itu berasal dari berbagai daerah di penjuru Indonesia, terutama dari Indonesia bagian timur. Ada yang datang dari Bali, Madura, Yogjakarta, Semarang, bahkan dari Kalimantan. Berbekal harapan dan semangat, para orangtua yang tidak semuanya mampu itu datang ke Aurica dan melatih anak-anak mereka agar kelak bisa bersekolah di sekolah umum dan kemudian meraih mimpi-mimpi mereka.

Tentunya, usaha para orangtua itu tidaklah mudah. Dibutuhkan suatu proses yang panjang dan sulit. Jadi, jangan menyangka bahwa anak yang awalnya tuli itu tiba-tiba bisa menjadi seperti orang normal yang bisa mendengar dan berbicara.

Ada waktu, ada usaha keras, ada semangat yang tidak boleh padam. Ada air mata, ada tetesan peluh, serta doa-doa berkepanjangan yang menyertai setiap usaha orangtua.

Hasil memang menyertai usaha yang dilakukan. Banyak anak-anak Aurica yang kemudian mampu berbicara dan berbahasa dengan baik. Ada yang mampu menyanyi dengan merdu, ada yang mampu bermain musik, ada juga yang akhirnya menguasai 2 atau 3 bahasa sekaligus.

Namun ironisnya, kami para tuna rungu tetap saja menjadi kaum minoritas yang hak-haknya tidak selalu mendapat perhatian. Mereka, anak-anak tersebut tetap kesulitan mencari sekolah umum yang mau menerima mereka. Untuk yang berkantong tebal tidak terlalu menjadi masalah, karena sekolah-sekolah swasta masih banyak yang mau menerima asalkan mereka bersedia membayar SPP dengan lebih mahal.

Terus terang, saya bisa menjadi seperti ini karena sekolah saya mau memberi kesempatan pada saya untuk berkarya dan berprestasi. Tetapi, berapa banyak sekolah yang mau memberi kesempatan seperti itu?

Tentu saja ada, tapi jumlah sekolah yang mau melakukan itu hanya sedikit. Masih bisa dihitung dengan jari. Sementara itu, anak-anak yang tidak beruntung tersebut sangatlah banyak, hingga tak bisa lagi dihitung dengan jari.

Sekolah-sekolah umum biasanya selalu menolak anak-anak seperti saya dan anak-anak yang cacat lain dengan berbagai alasan. Ada beberapa sekolah umum yang mau menerima dengan mensyaratkan adanya guru pendamping, yang biaya untuk membayarnya seringkali lebih mahal dari SPP-nya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau