Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasib Museum, Merana di Tengah Keramaian

Kompas.com - 07/02/2010, 07:35 WIB

Oleh Lusiana Indriasari

Perahu prawean yang dipakai masyarakat Madura sejak abad ke-17 ”terdampar” di halaman tengah Museum Bahari, Jakarta Utara. Banjir besar yang melanda Jakarta pada 2007 mengoyak salah satu koleksi museum yang berada di kawasan Kota Tua Jakarta. Inilah potret buram kondisi museum kita.

Banjir yang merendam museum hingga hampir 1 meter menyeret perahu prawean dari tempat penyimpanannya. Saat terseret banjir, perahu itu membentur tembok hingga beberapa pasaknya patah. Sebagian badan perahu juga ikut terkoyak.

”Perahu itu sengaja dibiarkan di halaman karena tanpa pasak perahu akan hancur kalau diangkat,” kata Sukma Wijaya (46), pemandu di Museum Bahari. Sudah hampir tiga tahun sejak banjir melanda, perahu Madura itu belum juga diperbaiki.

Tidak ada informasi apa pun yang tertulis tentang perahu tadi. Namun, menurut Sukma, perahu prawean yang ornamennya berwarna-warni ini awalnya dipakai penduduk di pesisir utara Pulau Madura untuk berdagang rempah-rempah dan hasil bumi lainnya. Dengan perahu prawean, rempah-rempah itu dibawa ke kapal-kapal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), perusahaan Belanda yang memiliki hak monopoli perdagangan di Asia, yang merapat di dekat Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.

Nasib perahu prawean hanya salah satu gambaran betapa muramnya kondisi beberapa museum yang ada di Jakarta. Keterbatasan dana menjadi alasan klasik kenapa museum yang menyimpan jejak peradaban manusia dan menjadi sumber ilmu pengetahuan ini terbengkalai.

Kondisi bangunan sebagian museum juga memprihatinkan. Sejak dibuka pada 1977, Museum Bahari kesulitan untuk merawat gedung tua yang ditempatinya, gedung bekas gudang rempah-rempah milik VOC yang dibangun pada 1652.

Intrusi air laut merusak sebagian besar bangunan museum. Dinding di hampir seluruh bangunan museum mengelupas karena lembab. Catnya juga sudah kusam. Di beberapa bagian, lantai museum sering tergenang rembesan air laut dari dalam tanah, padahal elevasinya sudah ditinggikan. Kayu jati penopang bangunan mulai keropos.

Di luar museum, Menara Syahbandar yang menjadi bagian dari Museum Bahari rawan roboh. Menara ini miring sekitar 2,5 derajat dari garis tegak lurus karena tanah yang dipijaknya ambles. Pada beberapa kali kejadian gempa di Jakarta, petugas museum sampai harus menutup arus lalu lintas di depan menara karena khawatir menara akan roboh. Menara Syahbandar ini dulunya digunakan Belanda untuk mengawasi lalu lintas kapal yang akan keluar masuk Pelabuhan Sunda Kelapa.

Museum Sejarah Jakarta, atau dikenal dengan nama Museum Fatahillah, di Jakarta Utara kondisinya jauh lebih bagus dari Museum Bahari. Hanya saja di beberapa bagian atap bangunan museum ini mulai bocor. ”Kami terpaksa menggeser-geser beberapa koleksi museum supaya tidak kebocoran jika hujan datang,” kata Rafael Nadapdap, Kepala Museum Sejarah Jakarta.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau