Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasib Museum, Merana di Tengah Keramaian

Kompas.com - 07/02/2010, 07:35 WIB

Rafael mengatakan, anggaran yang diberikan kepada museum hanya cukup untuk perawatan rutin yang bersifat pembersihan ruangan dalam museum dan koleksinya. Pada 2008 dan 2009 bahkan tidak ada anggaran untuk merenovasi Museum Fatahillah.

Sepi pengunjung

Buruknya kondisi museum, ditambah kurangnya kesadaran masyarakat untuk menggali ilmu dari museum, membuat sumber informasi sejarah ini ditinggalkan masyarakat. Saking sepinya, Museum Reksa Artha milik Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) yang sudah 20 tahun lebih didirikan di Jalan Lebak Bulus I, Jakarta Selatan, lebih sering tutup.

Dari luar, gedung museum yang berwarna hijau muda itu suasananya seperti sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Pagarnya berkarat. Pintu pagar menuju halaman ataupun pintu masuk gedung lebih sering terkunci rapat. Pos satpam dan menara penjaga di sudut halaman kosong melompong.

Menurut warga sekitar museum, sebenarnya museum itu buka setiap hari. Hanya saja pengunjung harus lebih dulu mencari penjaga museum untuk minta dibukakan pintu. ”Habis, tidak setiap hari ada pengunjung yang datang ke museum,” kata Riswan, penjaga museum yang siang itu mengisi waktunya dengan nongkrong di sekitar lapangan futsal di dekat museum.

Museum Reksa Artha menyimpan berbagai benda yang terkait dengan percetakan uang, seperti mesin kuno pencetak uang kertas dari awal abad ke-20 yang berukuran besar, alat pencetak uang logam, serta foto-foto yang menceritakan beratnya perjuangan pencetakan ORI (Oeang Republik Indonesia) untuk mempertahankan kedaulatan ekonomi pada awal kemerdekaan RI. Berbeda dengan bagian luar museum yang tak terawat, bagian dalam ruangan besar yang dulunya berfungsi sebagai gudang tinta Perum Peruri itu bersih dan sangat terawat. Tidak terasa ada debu di lantai ataupun pada benda-benda pajangan di dalamnya.

Di Jakarta, museum pun terdesak oleh padatnya lingkungan. Museum Tekstil di Jalan KS Tubun Tanah Abang, Jakarta Pusat, sulit dicari pengunjung karena dikepung pedagang kaki lima. Akses masuk ke museum ini juga sulit karena sekitar 50 meter jalanan selalu dipadati kendaraan. Museum ini memiliki 1.872 koleksi kain dari seluruh wilayah Nusantara, antara lain kain batik, jumputan, tenunan, sulaman, dan produk tekstil lain.

Museum Bahari juga kurang diminati pengunjung meski museum itu memiliki lebih dari 1.700 koleksi. Karena kekurangan tempat, museum ini hanya memamerkan sebagian koleksinya saja, antara lain miniatur kapal klasik dari zaman Kerajaan Majapahit hingga zaman VOC, miniatur kapal modern, serta beberapa perahu tradisional asli dari belahan Nusantara. Ada juga berbagai perlengkapan navigasi kapal pada masa lalu.

Setiap hari, jumlah kunjungan di Museum Bahari rata-rata 30 orang. Menurut Sukma, pengojek sepeda onthel yang beroperasi di kawasan Kota Tua menambah ramai tamu yang datang ke Museum Bahari. Ironis memang. Budaya niaga maritim masa lalu berupa kapal itu

berjumpa dengan ojek sepeda onthel dan pedagang kaki lima yang menjadi simbol parahnya perekonomian bangsa ini.

(Dahono Fitrianto/Yulia Sapthiani)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau