Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

NU Politik dan Retaknya Modal Sosial

Kompas.com - 23/03/2010, 04:31 WIB

Laode Ida

Aspirasi yang menghendaki agar Nahdlatul Ulama tidak terbawa oleh kepentingan politik yang kembali menguat dalam muktamarnya yang ke-32 di Makassar, pekan ini.

Tuntutan itu bukan tanpa alasan justru berangkat dari sebuah realita selama lebih dari sepuluh tahun terakhir, di era reformasi, ketika para tokoh Nahdlatul Ulama (NU) mulai dari kalangan senior hingga kalangan aktivis mudanya cenderung ”memanfaatkan kesempatan” masuk ke panggung politik praktis.

Pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada awal era Reformasi—H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai tokoh utamanya—menandai babak baru perjalanan NU setelah deklarasi kembali ke khitah 1926 melalui muktamar ke-27 di Situbondo. PKB pun oleh para pendiri dan pendukungnya dianggap sebagai ”jendela politik NU”— klaim yang seolah-olah mengarahkan agar seluruh kaum sarungan menjadikannya sebagai pilihan politik resmi.

Berbagai kritik yang mengatakan bahwa langkah itu bertentangan dengan substansi upaya kembali ke khitah 1926 memang sudah sering dilontarkan. Namun, semuanya diabaikan, bahkan dianggap tak paham atau keliru dalam menafsirkan makna khitah NU. Tepatnya, pihak yang ingin tetap menjadikan NU netral dari kepentingan politik menjadi kelompok pinggiran dalam NU. Mengapa?

Pertama, pengaruh Gus Dur (alm) yang begitu dominan sejak tahun 1984. Cucu pendiri NU KH Hasyim Asy’ari itu memang menjadi salah satu figur utama yang menggagas dan mewujudkan konsep kembali ke khitah 1926, meniadakan atau melepaskan ikatan formal antara NU dan parpol (saat itu menjadi bagian fusi PPP). Maka, yang dilakukannya terhadap NU termasuk menggiringnya ke pentas politik praktis dianggap sebagai sah-sah saja, diposisikan sebagai ”tidak mungkin mencelakakan organisasi warisan para leluhurnya”. Apalagi almarhum merupakan figur yang kredibel dan memperoleh pengakuan baik nasional maupun internasional.

Kedua, para tokoh NU yang masuk dunia politik benar-benar menikmatinya, memperoleh berbagai jabatan baik di legislatif (DPR, DPRD, dan DPD) maupun di eksekutif. Sudah pasti faktor materi menyertai sukses mereka di pentas politik itu.

Ketiga, di tengah terbukanya peluang berpolitik terdapat kekuatan luar yang terus menggoda para tokoh NU untuk memanfaatkan basis massa. Ketersebaran kiprah dan pilihan politik warga nahdliyin, harus diakui, telah saling dimanfaatkan oleh sebagian tokoh NU yang berpolitik dan para politisi non-NU.

Sangat merugikan NU

Kondisi dan kecenderungan seperti itu kalau jujur diakui, sebenarnya telah sangat merugikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan dengan basis umat yang terbanyak di Indonesia. Pertama, sulit dihindari terjadinya konflik kepentingan di antara sesama elite NU. Maka, tidak heran kalau pertarungan kepentingan dalam politik selalu mengalahkan nilai-nilai substansial kekerabatan, kolegial, dan bahkan pertalian darah dalam suatu keluarga. Dan itu pulalah yang menimpa keluarga NU setelah larut dalam godaan politik kekuasaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com