Laode Ida
Aspirasi yang menghendaki agar Nahdlatul Ulama tidak terbawa oleh kepentingan politik yang kembali menguat dalam muktamarnya yang ke-32 di Makassar, pekan ini.
Tuntutan itu bukan tanpa alasan justru berangkat dari sebuah realita selama lebih dari sepuluh tahun terakhir, di era reformasi, ketika para tokoh Nahdlatul Ulama (NU) mulai dari kalangan senior hingga kalangan aktivis mudanya cenderung ”memanfaatkan kesempatan” masuk ke panggung politik praktis.
Pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada awal era Reformasi—H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai tokoh utamanya—menandai babak baru perjalanan NU setelah deklarasi kembali ke khitah 1926 melalui muktamar ke-27 di Situbondo. PKB pun oleh para pendiri dan pendukungnya dianggap sebagai ”jendela politik NU”— klaim yang seolah-olah mengarahkan agar seluruh kaum sarungan menjadikannya sebagai pilihan politik resmi.
Berbagai kritik yang mengatakan bahwa langkah itu bertentangan dengan substansi upaya kembali ke khitah 1926 memang sudah sering dilontarkan. Namun, semuanya diabaikan, bahkan dianggap tak paham atau keliru dalam menafsirkan makna khitah NU. Tepatnya, pihak yang ingin tetap menjadikan NU netral dari kepentingan politik menjadi kelompok pinggiran dalam NU. Mengapa?
Pertama, pengaruh Gus Dur (alm) yang begitu dominan sejak tahun 1984. Cucu pendiri NU
Kedua, para tokoh NU yang masuk dunia politik benar-benar menikmatinya, memperoleh berbagai jabatan baik di legislatif (DPR, DPRD, dan DPD) maupun di eksekutif. Sudah pasti faktor materi menyertai sukses mereka di pentas politik itu.
Ketiga, di tengah terbukanya peluang berpolitik terdapat kekuatan luar yang terus menggoda para tokoh NU untuk memanfaatkan basis massa. Ketersebaran kiprah dan pilihan politik warga nahdliyin, harus diakui, telah saling dimanfaatkan oleh sebagian tokoh NU yang berpolitik dan para politisi non-NU.
Kondisi dan kecenderungan seperti itu kalau jujur diakui, sebenarnya telah sangat merugikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan dengan basis umat yang terbanyak di Indonesia. Pertama, sulit dihindari terjadinya konflik kepentingan di antara sesama elite NU. Maka, tidak heran kalau pertarungan kepentingan dalam politik selalu mengalahkan nilai-nilai substansial kekerabatan, kolegial, dan bahkan pertalian darah dalam suatu keluarga. Dan itu pulalah yang menimpa keluarga NU setelah larut dalam godaan politik kekuasaan.