Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kanibalisasi UU BHP

Kompas.com - 03/05/2010, 04:43 WIB

Mengingat yang terjadi kekosongan hukum hanya pada ketujuh PT BHMN, langkah yang paling bijak adalah mengembalikan PT BHMN menjadi PTN milik publik yang dapat diakses semua warga, yang cukup diatur dengan PP yang merupakan turunan dari UU Sisdiknas, bukan justru menghidupkan kembali roh UU BHP yang sudah dimatikan MK. Menghidupkan kembali UU BHP dengan jasad baru berpotensi menimbulkan ketegangan di masyarakat yang akhirnya membuang energi dan biaya secara sia-sia.

Pemerintah perlu menyadari kekeliruannya dan kemudian membuka ruang dialog dengan masyarakat luas untuk merumuskan regulasi baru sektor pendidikan yang dapat menjamin hak-hak warga untuk memperoleh layanan pendidikan secara baik dan biayanya terjangkau.

Kritik terbanyak terhadap PT BHMN selama ini adalah cenderung merampas hak orang miskin untuk dapat mengakses pendidikan tinggi terbaik di negeri ini akibat dari kebijakan penerimaan mahasiswa baru yang didasarkan pada besaran uang sebagai penentu diterima/tidaknya seseorang di suatu PT BHMN. Oleh sebab itu, langkah pengembalian PT BHMN menjadi PTN itu jauh lebih bijak. Bila kendala pengembangan PTN adalah keterbatasan dana dan kekakuan di dalam penggunaan anggaran negara bukan pajak, pemerintah perlu menambah anggaran khusus untuk PTN dan mengubah UU Keuangan, khususnya yang mengatur mengenai penggunaan anggaran oleh lembaga-lembaga pemerintah yang menjalankan pelayanan umum, seperti pendidikan dan kesehatan, termasuk PTN.

Tak ada salahnya perguruan tinggi yang bagus mendapat alokasi dana besar dari negara karena mereka menjalankan tugas mulia mencerdaskan kehidupan dan menyiapkan calon-calon pemimpin bangsa. Argumentasi bahwa pemerintah tidak mempunyai dana untuk membiayai pendidikan tinggi tidak sepenuhnya dapat diterima. Terbukti dalam RAPBN 2011 subsidi khusus untuk energi saja mencapai Rp 148 triliun, padahal subsidi itu terbesar dinikmati oleh golongan menengah ke atas.

Lebih baik subsidi untuk sektor energi itu dipotong dan dialihkan untuk anggaran pendidikan, termasuk PTN. Dengan menaikkan anggaran pendidikan untuk PTN, semua PTN termasuk PT BHMN yang sudah kembali ke PTN dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi yang berkualitas internasional dan memberikan gaji tinggi kepada dosen, termasuk guru besar, tanpa harus membebani masyarakat lagi dengan uang masuk tinggi. Sungguh ironis di negeri ini, gaji seorang profesor doktor justru jauh lebih rendah daripada gaji tukang pungut (pajak).

Jadi, baik untuk membuat PTN yang bagus dan bertaraf internasional maupun otonom tidak harus mengubah PTN menjadi PT BHMN atau badan layanan umum, apalagi harus membuat UU baru, tetapi cukup dengan kemauan politik yang diimplementasikan melalui PP dan peningkatan anggaran pendidikan dari pemerintah.

Sikap pemerintah yang tetap ngotot menghidupkan roh UU BHP itu menunjukkan komitmen pemerintah bukan pada peningkatan mutu PTN dan penjaminan hak warga atas pendidikan tinggi, melainkan kesetiaan kepada Bank Dunia untuk mewujudkan UU BHP paling lambat tahun 2010 ini. Oleh karena jasad UU BHP sudah dimatikan MK, rohnyalah yang dihidupkan kembali agar tidak dipersalahkan Bank Dunia. Mengingat kesetiaan kepada Bank Dunia lebih diutamakan daripada mengabdi bagi kepentingan warga, kanibalisasi UU BHP itu harus ditolak secara dini.

Darmaningtyas  Penulis Buku ”Tirani Kapital dalam Pendidikan, Menolak UU BHP” dan Pengurus Majelis Luhur Tamansiswa

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com