KOMPAS.com - Satu jam sudah Sri Utami berada di gubuk itu menanti hujan reda. Ia harus singgah ke tempat itu agar tak basah kuyup saat menjumpai murid-muridnya di pedalaman Boalemo, Gorontalo, Sulawesi Tengah.
Saat hujan turun, Sri baru berjalan sekitar satu kilometer. Masih ada tiga kilometer perjalanan lagi yang menantinya. Perjalanan dengan medan berbukit dan dua sungai.
Begitulah kisah Sri berawal. Gubuk beratap rumbia dan tanpa tempat duduk itu selalu menjadi penolongnya saat kelelahan atau kehujanan. Tak jarang, Sri juga berteduh bersama beberapa ekor kambing yang takut basah.
Sri adalah seorang guru yang mengajar di daerah transmigrasi, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Bila musim hujan tiba, jalanan licin dan becek menjadi "musuhnya", karena Sri terpaksa menenteng sepatu bututnya agar tak dimakan lumpur.
"Ini sepatu saya satu-satunya dan saya akan lebih membutuhkannya saat musim kemarau tiba," ujar perempuan berjilbab itu tersenyum.
Tak sanggup
Sri, perempuan asli Surabaya, Jawa Timur, itu terlihat sangat sederhana. Bukannya ingin berpenampilan sederhana, namun Sri ternyata memang hidup serba kekurangan. Jangankan membeli baju dan sepatu baru untuk mengajar, menyekolahkan anaknya saja ia tak sanggup.
Diakui Sri, putra tercintanya hanya bisa mencicipi pendidikan hingga bangku SMP saat masih tinggal di Surabaya. "Itupun karena biayanya hasil patungan sanak saudara di sana. Sejak pindah ke daerah transmigran, anak saya hanya di rumah membantu ayahnya berladang," ungkapnya.
Gaji dua ratus lima puluh ribu yang diterimanya setiap bulan hanya habis untuk makan. Sri dan dan suaminya yang baru setahun menjadi transmigran di daerah itu, belum bisa berbuat banyak untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang lebih tinggi.
Sejak pertama kali mengajar, Sri memang tak pernah berharap profesinya bisa menghasilkan banyak uang. Ia mengambil keputusan untuk menghabiskan hidupnya menjadi pendidik saat usianya baru menginjak dua puluh tahun.