Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Guru yang Tak Sanggup Sekolahkan Anaknya

Kompas.com - 28/06/2010, 12:06 WIB

Berakhir di ladang

Sri adalah lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) tahun 1984. Ia mengawali tugasnya di SD Al Jihad, Surabaya. Saat itu, gajinya hanya lima belas rupiah.

Selama mengajar, Sri juga memberanikan diri kuliah di Universitas Tri Tunggal, Surabaya, meski gajinya tentu tak cukup untuk itu. Beruntung, Sri selalu menerima beasiswa dan akhirnya sukses meraih gelar sarjana.

Setelah menikah, pada 2004 Sri memilih ikut suaminya ke Lampung. Di tanah Sumatera itu hidupnya tak menjadi lebih baik. Ia mengajar tujuh mata pelajaran dengan imbalan seratus tujuh puluh ribu rupiah. Kala itu, penghasilannya dari mengajar tersebut hanya cukup untuk membeli sekarung beras.

Tak ingin hidup kekurangan berlama-lama, pada 2009 lalu Sri dan suaminya menerima tawaran program transmigrasi ke Gorontalo. Meski di daerah terpencil, Sri pun masih ngotot menjadi guru abdi. Baginya, mengajar adalah nadinya.

Pernah, Sri berpikir dan mencoba untuk berhenti saja menjadi guru dan terjun sebagai buruh tani. Namun, sehari pun ia tak bisa melakukannya karena Sri mengaku terlanjur cinta pada dunia pendidikan. Titel sarjana yang diraihnya susah payah, menjadi beban tersendiri baginya. Sri tak boleh menyia-nyiakan ilmunya.

Kegigihan Sri sebagai guru abdi menghantarkannya menjadi satu dari tujuh pemenang dalam Suharso Monoarfa Award (SUMO) Awards tahun 2010 untuk kategori guru pejuang. Bersama 34 nominator dalam penghargaan tersebut, Sri dianggap memiliki dedikasi luar biasa dalam mencerdaskan bangsa ini.

Miris nian nasib Sri. Dua puluh enam tahun menjadi guru abdi, tak serta merta membuatnya bisa menyekolahkan sang anak. Hatinya pilu setiap kali melihat puluhan siswa yang diajarnya.

"Saya sibuk mengajar, sedangkan anak saya tak bisa sekolah," ucapnya lirih.

Di sisi lain, di usianya yang kini menginjak 46 tahun, harapan Sri menjadi Pegawai Negeri Sipil pun tertutup sudah. Pipinya yang kurus kerap dihiasi air mata kesedihan dan harapan. Harapan agar anaknya bisa mengecap pendidikan. Pun, harapan supaya besaran gajinya kelak akan layak, untuk mengubah nasib putranya agar tak berakhir di ladang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau