Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Sejarah Masih Terbelenggu

Kompas.com - 09/07/2010, 05:47 WIB

Selama ini, salah satu hal yang kerap diasosiasikan dengan pelajaran sejarah adalah hafalan. Guru berceramah di depan kelas dan siswa diperintahkan untuk mencatat dan menghafalnya. Ironisnya, hingga saat ini, metode itulah yang paling banyak dipakai sekolah untuk membuat siswanya belajar sejarah. Guru dan buku teks adalah sumber belajar utama. Siswa diharapkan menghafal rangkaian peristiwa sejarah yang sudah diceritakan guru dan tercetak di buku.

Hampir seluruh responden (93,4 persen) menyatakan perlu pembenahan metode pembelajaran sejarah. Meski metode menghafal masih disetujui sekitar sepertiga responden, tetapi model pembelajaran yang lebih integratif, mengenalkan anak dengan obyek sejarah secara langsung, serta melibatkan sarana audio visual, sudah tak terelakkan kebutuhannya. Belajar sembari ke museum ataupun tempat bersejarah lainnya lebih merefleksikan peristiwa sejarah dan membangun imajinasi siswa.

Perihal efektivitas metode pembelajaran sejarah ini juga menjadi kekhawatiran responden. Mayoritas (60,3 persen) menyatakan pengetahuan sejarah yang diperoleh siswa dengan cara menghafal tak akan efektif mencapai tujuan. Hampir semua (91,5 persen) responden lebih menyetujui penggunaan metode diskusi untuk pembelajaran sejarah yang efektif. Selain itu, kunjungan ke tempat bersejarah juga dapat digunakan dan sebagian besar (92,8 persen) responden berharap setelah itu siswa ditugaskan membuat laporan sesuai tafsiran masing-masing.

Buku masih jadi sumber ilmu yang utama. Meski banyak bertebaran sumber ilmu alternatif, tetapi manfaat buku tetap belum tergantikan. Kondisi pendidikan di Indonesia hingga saat ini juga masih mempergunakan buku sebagai sumber belajar utama.

Teks sejarah

Penafsiran materi ajar sejarah yang tidak lepas dari tarikan kepentingan politik dan bersuara netral sebagai fakta sejarah, kenyataannya belum mudah berlangsung di Indonesia.

Lihat saja silang pendapat soal Hari Lahir Pancasila, antara 1 Juli dan 18 Agustus; atau soal Serangan Umum 1 Maret; bahkan tentang peran Soekarno dalam peristiwa G30S. Pada ujungnya, perdebatan yang masih berputar itu mengorbankan proses pembelajaran peserta didik.

Tengok saja kasus buku teks sejarah. Kasus yang pernah menyengat perhatian publik itu terjadi ketika ada penarikan buku- buku pelajaran sejarah oleh Kejaksaan Agung pada tahun 2007. Buku-buku yang sudah telanjur digunakan di beberapa SMP dan SMA saat itu berbasis pada Kurikulum 2004, yang ketika itu masih diujicobakan.

Alasan yang dikemukakan Kejagung saat itu karena buku-buku itu tidak memuat fakta sejarah yang benar karena tak mencantumkan kata PKI (Partai Komunis Indonesia) pada setiap cerita tentang peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Buku teks itu dianggap mengabaikan peran PKI dalam pemberontakan Madiun tahun 1948 dan Gerakan 30 September tahun 1965.

Dari awal, penarikan itu kontroversial. Aksi pemerintah saat itu dicap sebagian masyarakat sebagai pembatasan pengetahuan, khususnya pengetahuan sejarah. Siswa tak dianjurkan membuat analisa alternatif atas sebuah peristiwa di luar pemahaman yang sudah disepakati pemerintah.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau