Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menuju Kampus Ramah & Non-Diskriminatif

Kompas.com - 31/07/2010, 04:41 WIB

Pada dekade terakhir ini muncul pergeseran paradigma pendidikan bagi penyandang disabilitas. Pendidikan dengan model segregasi dinilai tidak memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk hidup dan mengenyam pendidikan normal seperti peserta didik di sekolah-sekolah reguler. Pemisahan mereka dari kenormalan menjadikan mereka terasing. Penyandang disabilitas merasa bahwa mereka hidup di lingkungan yang eksklusif dari kenormalan, dan merasa bahwa kenormalan yang terpisah dari mereka juga sebagai lingkungan yang eksklusif.

Dari pemikiran itu kemudian muncul paradigma pendidikan yang tidak lagi memisahkan penyandang disabilitas, namun sebaliknya menyatukan mereka dalam pendidikan reguler. Muncullah model pendidikan inklusif. Model pendidikan tersebut telah diadaptasi di banyak negara . Indonesia sendiri telah menetapkan kebijakan model inklusif moderat atau disebut juga mainstreaming dimana penyandang disabilitas digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja . Model mainstreaming ini dijadikan sebagai model pendidikan bagi penyandang disabilitas dalam rangka pemenuhan hak bagi setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Pendidikan inklusif dinilai sebagai model pendidikan yang menjanjikan aksesabilitas tinggi bagi semua warga negara Indonesia, terutama penyandang disabilitas. Menurut data dari Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Mandikdasmen) Kementrian Pendidikan Nasional, jumlah sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif adalah sebanyak 814 sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah siswa mencapai 15.181 . Jumlah yang tidak sedikit ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas.

Pada tataran kebijakan pendidikan inklusif, pemerintah lagi-lagi terlihat kurang konsen – untuk tidak mengatakan tidak - dalam menggarap pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas. Dalam regulasi terbaru mengenai pendidikan inklusif dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen), tidak ada satu pasal pun yang mengatur penyelenggaraan pendidikan inklusif pada perguruan tinggi . Kebijakan pemerintah dalam memberikan ruang bagi penyandang disabilitas untuk dapat mengenyam pendidikan pada perguruan tinggi patut dipertanyakan.

Pada tataran wacana terkait pendidikan inklusif, penulis sendiri tidak menemukan adanya pembicaraan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas. Hampir-hampir tidak ditemukan literatur-literatur mengenai pendidikan luar biasa, pendidikan untuk penyandang disabilitas, dan pendidikan inklusif yang dilaksanakan di perguruan tinggi. Padahal pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas sudah selayaknya dimasukkan dalam grand design sistem pendidikan nasional karena mereka memiliki hak yang sama seperti orang-orang normal lain yang memiliki akses untuk mengenyam pendidikan tinggi.

Tidak adanya regulasi yang mengatur pelaksanaan pendidikan di perguruan tinggi bagi penyandang disabilitas ditanggapi pihak kampus dengan tidak menyelenggarakan pendidikan khusus bagi penyandang disabilitas. Jika ada pun penyelenggaraannya tidak secara optimal. Bahkan sering terjadi kasus penolakan oleh pihak kampus ketika ada penyandang disabilitas yang ingin mendaftarkan diri menjadi mahasiswa perguruan tinggi.     

Kampus Ramah dan Non-Diskriminatif bagi Penyandang Disabilitas Pendidikan tinggi yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas belum menjadi isu yang secara serius digarap baik oleh pemerintah maupun kampus. Dalam rangka mewujudkan kampus yang ramah dan non-diskriminatif bagi penyandang disabilitas, pemerintah harus melakukan diseminasi secara menyeluruh mengenai isu pendidikan bagi penyandang disabilitas. Kebijakan-kebijakan terkait penyandang disabilitas yang kurang menyediakan ruang memadai untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi perlu untuk dirumuskan kembali. Untuk itulah, pemerintah diharapkan segera menetapkan kebijakan yang tidak setengah-setengah dalam penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang disabilitas. Pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas merupakan hak yang harus dipenuhi pemerintah.

Wacana-wacana mengenai isu pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas perlu untuk terus dikembangkan. Literatur-literatur mengenai pendidikan bagi penyandang disabilitas di perguruan tinggi perlu disediakan. Jika memang tidak ada, maka perlu diadakan riset-riset mengenai pengembangan kampus inklusif agar dapat menyediakan akses bagi penyandang disabilitas.

Pada tingkat operasional, pelaksanaan pendidikan bagi penyandang disabilitas berbeda dengan pendidikan reguler pada umumnya. Konsep dan model pendidikan bagi penyandang disabilitas, baik segregatif maupun inklusif, memiliki perbedaan. Karena terdapat perbedaan dalam konsep dan model pendidikan, maka dalam pelaksanaan pendidikan penyandang disabilitas terdapat beberapa komponen pendidikan yang perlu dikelola sebagai bentuk strategi mewujudkan kampus ramah dan non-diskriminatif bagi penyandang disabilitas.

Pertama, manajemen kemahasiswaan. Kondisi mahasiswa dalam setting pendidikan bagi penyandang disabilitas lebih majemuk jika dibandingkan kondisi mahasiswa reguler. Maka dari itu manajemen kemahasiswaan menjadi hal yang perlu diperhatikan. Tujuan dari manajemen kemahasiswaan ini tidak lain agar kegiatan belajar mengajar di perguruan tinggi dapat berjalan lancar, tertib, dan teratur, serta mencapai tujuan yang diinginkan. Kampus perlu mengidentifikasi input mahasiswa sehingga dapat diketahui kebutuhan yang diperlukan mahasiswa penyandang disabilitas. Selain itu, kampus juga dapat bekerjasama dengan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan luar biasa (SLB) dan pendidikan inklusif dalam penanganan calon mahasiswa penyandang disabilitas.

Kedua, manajemen kurikulum. Kurikulum yang digunakan dalam pembelajaran mahasiswa penyandang disabilitas harus merupakan kurikulum yang tanggap terhadap perbedaan. Kurikulum harus dimodifikasi sedemikian rupa dengan tanpa menafikan kurikulum resmi. Kurikulum harus berisi Program Pembelajaran Individual (PPI) atau Individualized Education Program (IEP) agar mahasiswa penyandang disabilitas dapat terbantu dalam proses pembelajaran. Intinya, mahasiswa tidak dipaksa untuk mengikuti kurikulum yang ditetapkan, namun sebaliknya kampuslah yang harus melakukan penyesuaian dengan memperhatikan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam diri mahasiswa. Ketiga, manajemen tenaga kependidikan. Kampus harus menyediakan dosen yang memiliki pemahaman mengenai konsep pendidikan bagi penyandang disabilitas. Dosen-dosen yang akan berhadapan dengan mahasiswa penyandang disabilitas harus merupakan dosen yang memahami kebutuhan penyandang disabilitas. Jika dibutuhkan, disediakan juga dosen khusus yang akan ditugaskan untuk melaksanakan Program Pembelajaran Individual bagi mahasiswa penyandang disabilitas yang membutuhkan.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau