Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilema Sepatu Tua

Kompas.com - 04/10/2010, 22:56 WIB

Belum juga sampai di halaman, Anto dipanggil Bu Retno, salah seorang guru piket. Setelah Anto mendekat, tanpa bicara sepatah katapun, guru Bahasa Indonesia itu menunjuk pada sepatu Anto, kemudian menunjuk lagi pada gundukan sepatu di samping meja piket. Anto masih tak yakin dengan maksud gurunya. Dia pun bertanya sopan apa maksud gurunya. Bu Retno kemudian menyuruhnya melepas sepatu. Anto diam, tak melakukan apa yang diminta. Bukan karena tak mendengar perintah gurunya, tapi dia masih tak mengerti kenapa. Dilihatnya lagi sepatu yang dikenakannya. Menurut penglihatannya, dia memakai sepatu hitam. Ya memang hitam, pikirnya lagi, yakin. Sepatu itu juga yang dipakainya kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarin kemarinnya lagi. Ia sudah memakai sepatu itu selama dia bersekolah di SMA itu, dari awal masuk hingga sampai dilakukannya razia seperti saat ini. Memang warnanya sudah mulai pudar, karena seringnya cuci-pakai, tapi masih terlihat… cukup hitam. Selama tiga hari program razia pun dia tak pernah kena masalah. “Sepatu saya hitam, Bu, kenapa kena razia?” kata Anto. “Lepas.” Kata Bu Retno singkat. Merasa pertanyaannya tak terjawab, Anto kembali menanyakan hal yang sama. Bu Retno lalu bertanya pada Pak Puji, rekan piketnya, warna sepatu Anto. Pak Puji terlihat ragu-ragu. “Kelihatannya hitam, hanya sudah agak pudar…”. Bu Retno berkata lagi pada Anto, “Lihat kan? Ini sudah tak lagi hitam. Pokoknya lepas sepatu kamu.” Anto terpaksa menurut. Akhirnya dia melewati jam pelajaran dengan hanya berkaos kaki, hingga jam istirahat kedua. Memang, baru pada jam istirahat kedua, para siswa boleh mengambil kembali sepatu miliknya yang ditahan di meja piket.

Ketika jam pelajaran berakhir, saat sebagian besar siswa langsung melanjutkan kegiatannya dengan berbagai les, Anto memilih pulang ke rumah. Tak seperti adiknya yang mengikuti banyak les dan kursus, Anto enggan mengikuti berbagai kegiatan itu. Sejauh ini dia masih bisa mengikuti pelajaran dengan baik, meski tidak dalam semua pelajaran dia memiliki nilai bagus. Sejauh ini, dalam sekolah dimana persaingan yang ada cukup ketat, dia masih bisa berada dalam kategori di atas rata-rata. Anto terus menatap sepatu di rak di samping pintu kamarnya. Sepatu yang pagi tadi mendatangkan masalah baginya. Tak ada yang salah dengan sepatunya. Dari semenjak dia di sekolah dasar hingga SMA sekarang ini, dia selalu menaati peraturan sekolah, apapun bentuknya. Selain karena malas jika harus bersinggungan dengan pihak sekolah, orangtuanya jelas tak akan membiarkan ia melakukan pelanggaran sekecil apapun. Tidak untuk masalah seragam, rambut, sepatu, absensi dan kehadiran, atau hal sepele seperti buku.

Tidak, tak ada yang salah, pikir Anto. Sepatu yang tidak diperbolehkan adalah yang berwarna selain hitam. Itu bisa berarti merah, kuning, hijau, biru, atau apapun. Sepatu yang dibeli dan sudah dipakainya selama dua tahun itu, berwarna hitam. Kalau sekarang pudar, tetap saja, pada dasarnya dia masih berasal dari warna hitam. Tak ada alasan untuk mengganti dengan sepatu baru. Apalagi sepatu itu masih cukup bagus dan masih laik pakai. Setelah terus berdebat dengan dirinya sendiri, akhirnya Anto memutuskan tetap memakai sepatu itu ke sekolah, esok hari dan seterusnya.

Jumat. Senin, Selasa, Rabu. Anto dan sepatu tuanya baik-baik saja, tak terkena razia Memang begitu seharusnya, batin Anto. Tapi, kembali pada hari Kamis, Anto berhadapan dengan dua orang guru piket yang merazia sepatunya minggu lalu. Lagi, untuk kedua kali, masih dengan alasan yang sama, Bu Retno menahan sepatunya. Anto kesal, meski ia tak menunjukkan kekesalannya itu pada sang guru. Kamis minggu ketiga program razia, sepatu Anto masih saja menjadi korban setia. Padahal, Rina, teman sekelasnya yang modis itu pun sudah tak lagi kena razia. Anto bukannya tak berusaha membela diri. Tapi, betapapun Anto berdebat, dengan mengatakan semua argumentasi –dan tak lupa menunjukkan contoh warna-warna selain hitam pada kedua gurunya, ternyata itu pun tak cukup untuk membuat dirinya terbebas. Anto kesal, meski jelas dia tak pernah ingin memerpanjang masalah dengan kedua gurunya itu. Anto bersikeras, dia tak bersalah, sama seperti tak ada yang salah dengan sepatunya. ***** Media massa sedang dihebohkan oleh pemberitaan Ridha Mulyaningsih, seorang wanita yang harus duduk di meja hijau terkait surat elektronik yang ditulis dan dikirimkan Ridha kepada beberapa orang temannya. Surat elektronik itu bercerita tentang pengalaman pribadinya yang kurang menyenangkan di sebuah restoran yang cukup ternama di Jakarta. Bagaimana kejadian yang sebenarnya dan bagaimana pula kelanjutan perkara ini? Entahlah. Tapi, kisah ini justru menginspirasi seorang remaja SMA yang sedang gundah karena sepatu kesayangannya justru membawa masalah.

Anto mulai kesal karena tak juga dapat meyakinkan kedua guru piket Kamisnya. Apalagi, sang kepala sekolah juga tak memberikan pembelaan. Seperti halnya Pak Puji, Pak Bagus, kepala sekolahnya, juga menyarankan Anto untuk mengganti sepatunya. Tapi Anto bersikeras. Dia begitu yakin kalau tak ada yang salah dengan sepatunya hingga dia merasa tak perlu menganntinya dengan yang baru.

Bermaksud mencari pembenaran sekaligus dukungan dari teman-teman sekolahnya, Anto mengirim email kepada beberapa orang temannya. Dia merasa tak bisa menceritakan hal itu terang-terangan di sekolah. Via email lebih baik, pikir Anto. Belajar dari kasus Ridha, Anto tak menyebutkan nama kedua guru piketnya. Berikut isi tulisan Anto,

Hati-hati ke Sekolah jika Sepatumu Tak Tampak Indah… Ya, hati-hati. Kau akan kena razia! Begitulah yang terjadi di sekolah X, salah satu sekolah swasta di Jakarta. Dua orang guru piket, sebut saja Mr. Y dan Mrs. Z, menahan sepatu seorang siswa karena sepatunya yang berwarna tak lagi hitam karena  pudar, dianggap tak sesuai peraturan sekolah. Apa mungkin peraturan sekolah itu telah diperbarui? Sepatu harus berwarna hitam dan BARU. Artinya, kalau kau tidak punya cukup uang untuk membeli sepatu baru, kau harus siap bersekolah tanpa alas kaki, karena sepatumu akan ditahan pihak sekolah. Sebuah pelanggaran terhadap hak-hak pendidikan warga negara! Hak untuk mendapat pendidikan secara layak, aman, dan nyaman. Sebuah indikasi juga bahwa sekolah bagus hanya untuk orang-orang yang banyak fulus. Mungkin, esok hari, sekolah tak lagi menerima siswa karena kecerdasan, tapi karena kemampuannya memberikan lebih banyak sumbangan. Hmmm….

Tiga hari setelah email itu dikirim, entah bagaimana, email itu kembali diterima Anto, setelah mendapat banyak komentar. Komentarnya pun beragam, dari yang merasa iba, memberi dukungan dengan ikut mencaci maki sekolah, sampai pada yang cuek dan berkata si siswa cuma cari masalah. Ternyata, semua tak berhenti sampai di situ. Kini,  masalah Anto tak hanya datang dari sepatu bututnya. Seperti halnya Ridha, surat elektronik yang ditulis Anto pada akhirnya juga ikut mendatangkan masalah. Email itu sampai ke Bu Retno. Rupanya, merasa ada kemiripan dengan kisah dirinya dengan salah satu siswanya, Bu Retno menyimpulkan bahwa Mrs. Z yang disebutkan dalam tulisan itu, sudah pasti dirinya. Dan pengirimnya, sudah pasti siswa dari sekolah tempat dia mengajar. Maka, seperti halnya si restoran ternama yang menuntut Ridha, Bu Retno pun tak tinggal diam. Diadukannya peristiwa itu kepada kepala sekolah. Dengan alasan mencemarkan nama baik dirinya dan sekolah, Bu Retno meminta Anto, yang dia yakini sebagai si pengirim email, segera disidang dan diberikan hukuman. *****

Tepat di hari kelima setelah tulisan itu beredar di kalangan siswa dan para staf sekolah Nusa Kejora, Pak Tedjo akhirnya dipanggil pihak sekolah. Pak Tedjo merasa heran sekaligus dilanda sedikit kepanikan. Selain saat pembagian rapot dan rapat para guru dengan orang tua, Pak Tedjo tak pernah dipanggil untuk datang ke sekolah. Firasatnya mengatakan sesuatu yang tidak baik sedang menantinya di sekolah.

Pak Tedjo tiba di ruangan kepala sekolah. Anak lelakinya, Anto, sudah terlihat duduk di depan meja. Pak Tedjo mengambil tempat di sebelah Anto. Tak lama sang kepala sekolah langsung menceritakan segala permasalahannya. Muka Pak Tedjo seketika memerah, tak kuasa menahan rasa malu sekaligus berupaya meredam amarah. “Apa yang Anto lakukan, bisa mencemarkan nama baik sekolah ini, Pak.” Kata kepala sekolah. Pak Tedjo siap mengeluarkan permintaan maafnya ketika Anto, yang memang telah mengakui bahwa dia yang menulis email, tiba-tiba berujar, “Maaf , Pak. Bagian mana dari tulisan saya yang dianggap bisa mencemarkan nama baik sekolah ini, Pak?” Pak Tedjo menoleh pada anaknya. Alisnya hampir menyatu menahan geram.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com