Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilema Sepatu Tua

Kompas.com - 04/10/2010, 22:56 WIB

Kepala sekolah berpikir sejenak. Tulisan itu memang tidak menyebutkan nama guru dan sekolah dengan jelas. Dia lalu berkata, “Bagaimanapun, bisa saja teman-temanmu yang terlanjur mengetahui peristiwa ini, menceritakan pada temannya dari sekolah lain. Pada akhirnya, nama sekolah ini yang akan disebut. Reputasi sekolah ini akan menjadi buruk. Padahal, kita ini kan sekolah swasta unggulan di Jakarta.” “Apa yang saya tulis itu yang sebenarnya, Pak. Kalau kemudian apa yang ada dalam tulisan itu dianggap suatu keburukan, maaf, Pak, tapi jelas bukan saya yang menciptakan keburukan itu.” Anto masih melakukan pembelaan, sementara kepala sekolah terlihat menarik napas panjang. Belum juga menemukan jawaban yang tepat, Pak Tedjo sudah buka suara. “Maaf, Pak. Ini memang kesalahan anak saya. Maafkan saya juga, kurang bisa mendidik dia. Sekali lagi, saya minta maaf, Pak. Saya bisa pastikan, besok, Anto tak akan memakai sepatu itu lagi.”

Bagi Pak Tedjo, sepatu itulah yang menjadi masalah. Dia tak mengerti dengan istilah email atau apapun yang sejak tadi disebut-sebut oleh kepala sekolah. Dia pun tak mau tahu apa tepatnya isi tulisan anak lelakinya dalam email itu. Yang dia tahu, gara-gara sepatu butut yang hingga saat ini masih dikenakan Anto, maka semua masalah ini terjadi dan dia berada di sekolah ini.

Anto melihat pada ayahnya. Dia pun mengerti, ayahnya tak mungkin melakukan pembelaan untuknya. Bagi ayahnya, guru, yang dikatakan ayahnya sebagai orang pintar, mereka selalu benar. Merekalah yang akan mengajarkan putra-putrinya menjadi orang pintar pula. Begitulah yang dipercayai Pak Tedjo, juga isterinya, Bu Aya. Kedua orang tua ini memang hanya sempat mengenyam pendidikan hingga bangku SMP. Pun begitu, mereka punya harapan besar pada kedua anaknya. Dan masalah yang diciptakan Anto, bukan bagian dari mewujudkan harapan besarnya itu. ***** Sampai di rumah, Pak Tedjo mengeluarkan emosi yang sejak tadi dipendamnya. “Kalau masalahnya cuma sepatu, kenapa kamu nggak bilang, To? Bapakmu ini masih mampu untuk membelikan sepasang, bahkan lima pasang sepatu! Kamu bikin malu Bapak, To!” Pak Tedjo berusaha tak menaikkan nada suaranya. Bu Aya, yang duduk di sebelah suaminya, hanya bisa melihat anak lelakinya dimarahi. “Anto nggak bermaksud bikin Bapak malu, Pak. Anto hanya berusaha memertahankan apa yang menurut Anto benar. Pertama, sepatu Anto masih bagus. Bapak sendiri yang bilang, sebaiknya jangan beli barang yang Anto nggak perlukan, ya kan? Kedua, Anto nggak tahu di mana salah Anto, Pak. Peraturannya sepatu harus hitam. Nah, sepatu Anto ini jelas hitam. Bapak sama Ibu yang membelikan sepatu ini, kan?” “Tapi, gurumu benar, To. Warnanya sudah nggak kelihatan hitam. Kamu jangan cari masalah!” Kata Pak Tedjo lagi. “Kalau sudah pudar memang kenapa? Nggak boleh sekolah, gitu Pak? Yang penting, sepatu  ini berawal dari warna hitam, artinya Anto nggak melakukan kesalahan. Lagian, Anto kurang suka sekolah itu, Pak. Sekolah itu, namanya saja unggulan. Tapi, kebanyakan gurunya, oke, nggak banyak, maksudnya, beberapa guru, nggak bisa mengajar dengan baik, Pak.” “Jangan cari alasan kamu, To.” “Bukan cari alasan, Pak. Ini kenyataan. Beberapa guru itu, hanya masuk kelas untuk memberikan tugas atau latihan. Mereka membiarkan muridnya belajar sendiri.” “Itu mungkin karena gurunya pengen kamu banyak berlatih. Supaya lebih menguasai pelajaran!” “Iya, tapi latihan-latihan tanpa pernah diberi teori, tanpa pernah diajari, bagaimana mau menguasai, Pak?” “Ada toh To, gurumu yang begitu??” Bu Aya kali ini buka suara. “Yah itu Bu, mata pelajaran yang Anto dapat nilai kurang bagus, guru yang mengajar begitu semua.” “Itu kamu yang salah, To. Nggak belajar. Jangan menyalahkan orang lain! Dan jangan mengalihkan pembicaraan!” Pak Tedjo kembali gusar. “Tapi, mungkin benar Pak, apa yang dibilang Anto. Dari dulu, nilai-nilainya selalu bagus. Padahal dia nggak pernah ikut les. Mungkin memang ada guru yang kurang bisa mengajar dengan baik…” Bu Aya membela Anto. Yang dibela mengguk-anggukkan kepala. “Kalau saja para siswanya nggak mengambil bimbingan belajar di mana-mana, sekolah itu pasti tak akan menjadi sekolah unggulan, Pak.” Anto tampak yakin dengan kata-katanya. “Teman-temanmu pada les semua toh?” Tanya Bu Aya lagi. “Hampir semuanya, Bu.” Jawab Anto. Bu Aya terlihat berpikir keras. “Pak, selain sepatu baru, mulai besok, Anto harus ikut bimbingan belajar. Di tempat Irma les saja, Pak. Biar barengan…” Bu Aya berkata pada Pak Tedjo. “Ibuuu…bukan itu poinnya. Maksud Anto, ada yang nggak beres sama sekolah itu!” “Yang nggak beres itu otakmu!” dengan cepat Pak Tedjo memotong ucapan anaknya. “Kamu tahu? Seumur hidup, baru kali ini Bapak ditegur sama kepala sekolah. Dari jaman Bapak sekolah dulu, nggak pernah Bapak melanggar peraturan, To. Pamanmu juga nggak. Anak-anak Bapak juga nggak boleh melanggar peraturan. Pokoknya, Bapak nggak mau tahu. Besok kamu harus pakai sepatu baru. Satu lagi, benar kata Ibumu, besok juga kamu harus ikut les. Bu, si Rusdi, udah ditelepon?” Lanjut Pak Tedjo lagi. “Sudah. Nanti sepulang kerja, katanya dia langsung beliin sepatunya Anto.” Jawab Bu Aya. Rusdi adalah adik kandung Pak Tedjo. Pak Tedjolah yang membiayai pendidikan Rusdi hingga dia kuliah. Saat ini Rusdi masih tinggal di rumah itu bersama mereka. “Anto nggak mau!” “Terus kamu maunya apa? Mau dikeluarin dari sekolah? Sudah bagus kamu nggak diskorsing, To!” “Coba saja kalau sampai diskorsing, nanti sekalian Anto laporin ke LSM anak!” Anto menatap Ibunya, yang kontan saja, terlihat berubah sumringah. “LSM Anak? Berarti… bisa bertemu Bang Beto?” Bu Aya menggumam sambil tersenyum tipis. Bang Beto, tokoh dari LSM anak, memang salah satu tokoh idola Bu Aya. Dia kalem, tak banyak bicara, terlihat berwibawa, tapi, bagi Bu Aya, yang terpenting, dia berambut gondrong. Rambut panjang Bang Beto yang agak ikal, selalu dikuncir rapi. Sejak masih gadis, Bu Aya senang melihat pria berambut panjang yang tak terlihat seperti preman, dan yang tidak meluruskan rambut, seperti Bang Beto, idolanya. Entah bagaimana kemudian ia bisa jatuh cinta dan menikah dengan Pak Tedjo, yang sejak dulu berambut cepak. Tanyalah hal itu pada Tuhan, yang mahamembolak-balikkan hati manusia. “Pak…” Katanya lagi kepada Pak Tedjo, masih sambil senyum-senyum. “Apa? Mau nurutin si Anto?? Bapak tahu maksud Ibu. Nggak bisa! Bapak nggak mau masuk tv dan jadi sorotan media. Besok, Anto harus pakai sepatu baru. Titik. Kamu itu To, harusnya bersyukur, bisa sekolah sampai tinggi. Bapak sama Ibu hanya bisa sampai SMP. Pokoknya, setelah ini, bapak nggak mau lihat kamu buat masalah lagi!” Anto tak bisa berkata apa-apa lagi.

Setelah Rusdi datang dengan sepatu baru berwarna hitam, Anto lagi-lagi dinasehati oleh pamannya itu. “Turutin apa kata Bapakmu, To. Dia bermaksud baik. Dia hanya ingin melihat anak-anaknya sekolah tinggi dan tak terlibat masalah. Paman tahu, kamu hanya ingin memertahankan apa yang menurut kamu benar. Itu bagus. Tapi kamu juga mesti lihat apa yang kamu perjuangkan, sepadankah dengan yang dikorbankan? Dalam masalah ini, kamu memerjuangkan sepatu bulukmu, untuk mengorbankan perasaan dan mungkin harapan bapakmu. Nggak, kamu nggak salah. Hanya, ada baiknya untuk saat ini kamu mengalah. Bagaimanapun juga, sikap dan pendirianmu itu masih diperlukan. Pelihara baik-baik. Saat kamu kuliah, atau setelah kuliah nanti, ada banyak hal yang bisa, dan paman yakin kamu ingin perjuangkan. Mengenai guru yang tak kau sukai, itu biasa, To. Pindah sekolah tak akan menjadi solusinya, karena pasti kau akan kembali menemukan guru seperti itu. Baik-baiklah kau di sekolah. Belajar yang rajin, To. Ini sepatunya….” Rusdi mengakhiri pembicaraannya. *****

Pak Tedjo memastikan anaknya berangkat lebih dulu, sebelum dia dan istrinya berangkat ke pasar. Terutama, dia memastikan anak lelakinya, Anto, benar-benar memakai sepatu hitamnya yang baru. Tadinya dia ingin membuang sepatu buluk itu, khawatir kalau-kalau Anto kembali memakainya. Bu Aya melarang. Dia tahu betul sepatu itu adalah sepatu kesayangan anaknya. Bu Aya berani menjamin Anto tak akan mengenakan sepatu itu lagi ke sekolah.

Sepanjang perjalanan menuju sekolahnya, Anto terus memandangi sepatu barunya. Masih ada sedikit perasaan kesal dan tak rela, tapi dia memikirkan ucapan pamannya. Ucapan yang dia sadari kebenarannya.

Hari itu hari Kamis. Seperti biasa, Bu Retno dan Pak Puji sudah siap sedia di meja piketnya. Dari kejauhan, Bu Retno sudah mengenali Anto. Diperhatikannya Anto dari atas sampai bawah. Sampai pada bagian sepatunya, Bu Retno melihat agak lama. Dia lalu tersenyum. Anto yang dari jauh sudah bisa melihat senyuman guru piketnya itu, menganggap senyuman itu adalah senyum kemenangan sang guru. Tapi Anto tak ingin terlihat kalah. Dengan langkah penuh percaya diri, Anto terus berjalan hingga mendekati meja piket. Dia sedikit menganggukkan kepala memberi hormat saat dirinya tepat berada di depan kedua guru itu.

Anto sudah tak mau ambil pusing. Dia tak ingin berurusan dan bermasalah lagi dengan siapapun di sekolah itu. Tidak dengan murid, apalagi guru. Anto melangkah mantap menuju ruang kelasnya. Tapi, Anto merasa, seperti ada yang terlupa. Entah apa. Sesuatu yang harus dia lakukan. Sesuatu yang sejak semalam telah berulang kali diingatkan oleh ibu dan ayahnya. Sampai di tempat duduknya, dia melihat teman sebangkunya sedang sibuk merapikan buku untuk dimasukkan ke dalam laci. Saat melihat sebuah buku terbitan sebuah tempat les, akhirnya dia tahu apa yang terlupa olehnya. Hari itu juga dia akan mulai mengikuti bimbingan belajar.

*****

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com