Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Biaya Tinggi di Perguruan Tinggi

Kompas.com - 19/10/2010, 11:57 WIB

Pemerintahlah yang punya tanggung jawab membiayai pendidikan rakyat. Untunglah, UU BHP ini akhirnya dicabut Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010. Namun, sampai kini belum ada perubahan yang bisa dirasakan masyarakat tak berkecukupan.

”Pendidikan masih merupakan hak setiap warga negara yang mempunyai uang banyak,” kata Abdul Jalil, Tadris Fisika IAIN Walisongo, Semarang.

Lembaga pendidikan yang seharusnya mendidik dan mencerdaskan anak bangsa malah dijadikan ajang bisnis para pedagang ilmu. ”Semakin hari semakin mahal, seperti melambungnya barang-barang sembako saja,” kata Abdul.

Dengan biaya yang makin tinggi, sayangnya tidak diimbangi dengan pengadaan fasilitas memadahi dan tenaga pendidik profesional. ”Tetapi, anehnya, masyarakat yang seharusnya berontak malah setuju dengan berdiam diri,” kata Abdul.

Ya, masyarakat kita memang punya tradisi unik yang tidak sehat, yaitu terbiasa memberikan sesuatu untuk menjamin anaknya diterima di perguruan tinggi pilihan. Walau terpaksa memberikan, pola ini seolah diamini oleh kita semua.

M Wahyu Amiruddin, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang, memberi penjelasan secara logis soal akar kebiasaan seperti itu. ”Jer basuki mawa bea, inilah yang membuat komersialisasi kampus bukan sesuatu yang tabu untuk dibicarakan,” katanya.

Fasilitas fisik Nasib Tua Lumban Gaol, mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Medan, Sumatera Utara, mengatakan, menjadi mahasiswa kini bukan karena kualitas, tetapi karena ada uang.

”Demikian juga halnya dengan kampus saat ini, asalkan sudah ada bangunan secara fisik yang bagus, kampus itu akan mendengung-dengungkan sebagai kampus terbaik,” katanya.

Memang sih, kini ada tren, pencitraan kampus lebih sebatas bangunan fisik, bukan fasilitas yang bisa dinikmati. Di mata seorang santri, M Kamil Akhyari, santri Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah Sumenep, Madura, memberi istilah kampus-kampus liberal itu tak ubahnya seperti toko. Toko tempat jual beli barang.

”Pembeli mendapat keuntungan karena mendapat barang yang dibutuhkan, sedangkan penjual mendapatkan laba dari barang yang dijual. Hanya bangunan fisiknya yang terus dipoles, sementara kualitas keilmuan mahasiswa dan dosen tidak pernah diasah,” kata Kamil.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com