Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sumber Pembentukan Karakter Bangsa

Kompas.com - 07/01/2011, 03:33 WIB

Pentingnya pewarisan itu di kalangan anak-anak, betapa dalam diri mereka perlu ditanamkan budaya kearifan lokal sejak kecil. Tradisi Melayu, Mak Yong, disampaikan oleh peneliti Dijk van der Meij dari UIN Syarif Hidayatullah, sebagai hasil kesenian yang menggabungkan unsur musik, nyanyi, tarian, dan dialog Melayu. Mak Yong diusulkan menjadi ingatan kolektif dunia, termasuk kekayaan potensi ingatan kolektif dunia yang berasal dari Indonesia, seperti Mahabarata, Ramayana, Negara Kretagama, Pararaton, I La Galigo.

Lebih jauh lagi, keragaman budaya lisan dan tulis di Indonesia lainnya layak diajukan sebagai nominasi ingatan kolektif dunia (memory of the world) mengingat ragam kekayaan yang dimiliki, misalnya di Indonesia dikenal tulisan pertama kali berhuruf palawa pada abad IV, yang hingga kini masih bertahan 11 penulisan lokal di Indonesia, dan 742 bahasa ibu. Dalam hal bahasa, Indonesia hanya kalah dibandingkan dengan Papua Niugini yang memiliki 867 bahasa ibu. Jumlah bahasa itu bisa berkurang seperti halnya bahasa Jawa sebagai dampak budaya dari globalisasi.

Potensi pengajuan keragaman budaya Indonesia sebagai ingatan kolektif dunia tidak hanya mencakup unsur bahasa dan tulisan, tetapi juga pustaka ataupun tradisi lisan yang ditemukan—sejumlah cara dilakukan, termasuk yang diusahakan LSM Asosiasi Tradisi Lisan. Tradisi lisan merupakan deposit penting khazanah tambang budaya Indonesia, yang potensial diajukan sebagai ingatan kolektif dunia, potensi besar industri kreatif dunia, tulis Mukhlis PaEni, salah satu pembina ATL.

Tradisi lisan merupakan kekayaan budaya yang tidak saja perlu dilestarikan, tetapi juga dikembangkan, tulis mantan Direktur Jenderal Kebudayaan Edi Sedyawati dalam makalahnya. Perlu dilakukan pendekatan multikultural agar diperoleh pemahaman komprehensif sehingga hasilnya bisa dipakai sebagai sumber belajar bagi pengembangan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia, menjadi sumber bagi pembentukan karakter bangsa.

Repotnya, terjadi ”salah kaprah” bahwa tradisi lisan identik dengan masa lalu, kurang terjamin akurasinya, dan ada jarak dengan generasi muda perlu diluruskan. Tradisi lisan perlu ditempatkan secara proporsional. Tradisi lisan, tulis Ali Akbar dari Departemen Arkeologi UI dalam makalahnya, memang identik dengan masa lalu, tetapi cukup banyak aktivitas masyarakat saat ini menggunakan tradisi lisan.

Salah satu contohnya budaya perusahaan (corporate culture) yang mengembangkan kode-kode isyarat antara atasan dan bawahan atau antar-rekan kerja sangat lazim ditemui sampai saat ini. Kode atau gerakan tersebut terbukti efektif untuk meningkatkan produktivitas kerja dan mencapai target produksi. Lagu-lagu yang dinyanyikan bersama, gerakan-gerakan teratur dan berirama, serta pantun saling bersahutan sering terdengar untuk meningkatkan kebersamaan, mengurangi kelelahan dan mengajarkan nilai-nilai yang dikembangkan perusahaan. Jadi, tradisi lisan bukan merupakan bagian dari masa lalu, melainkan hadir di tengah-tengah keseharian hidup masa kini.

Dari penelitian Ali Akbar, disimpulkan tradisi lisan yang sering disebut dongeng, mitos, legenda, dan sejenisnya belum tentu bersifat fiktif. Kalaupun tidak bisa dikaitkan dengan fakta sejarah, bukan tidak mungkin dongeng, mitos, dan legenda itu terjadi di zaman prasejarah. Butuh penelusuran mendalam sebab ketika bangsa Indonesia hidup dalam masa prasejarah, beberapa bangsa lain di dunia sudah berada dalam masa sejarah.

Terbuka kemungkinan besar untuk membuktikan bahwa dongeng, mitos, dan legenda itu merupakan fakta yang kebetulan tidak dituliskan. Pembuktian semacam itu tidak mungkin dilakukan ketika ilmuwan dan peneliti Indonesia apriori terhadap kebenaran tradisi lisan secara ilmiah. Dibutuhkan dekonstruksi sikap tentang status tradisi lisan dalam khazanah dunia ilmiah Indonesia.

Pembangunan karakter bangsa

”Keragaman Tradisi Lisan dalam Menciptakan Keharmonisan Kehidupan Masa Depan Bangsa”, tema yang ditentukan panitia seminar kali ini dan perlunya sikap apresiatif terhadap tradisi lisan, memperoleh momentum aktual. Bangsa Indonesia tengah mengalami krisis multidimensi, tidak saja hilangnya kepercayaan rakyat terhadap elite politik (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), tetapi juga tidak munculnya praksis pemerintahan yang prorakyat.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com