Tak ada hati nurani. Salah satu sumber pokoknya, kata H Soemarno Soedarsono (80)—pendidik yang punya obsesi besar tentang pendidikan karakter bangsa—adalah terabaikannya pembangunan karakter. Menurut Soemarno, pembangunan karakter anak bangsa harus diutamakan agar terhindar dari krisis (Karakter Mengantar Bangsa dari Gelap Menuju Terang, ElexKomputindo, 2010).
Tradisi lisan menawarkan bahan pembangunan karakter, pelengkap Pancasila sebagai core values pembangunan karakter bangsa. Dan, ketika dunia pendidikan terkesan baru ”bangun” dari kelengahan mengembangkan karakter dalam praksis pendidikan akhir-akhir ini, seiring dengan tereduksinya penyampaian nilai-nilai kebangsaan Pancasila dan terabaikannya pengembangan karakter, ada tanda-tanda diperoleh tone nada yang sama antara kemerosotan moralitas bangsa, pembangunan karakter, dan kekayaan budaya Indonesia.
Pernyataan ”mencerdaskan kehidupan bangsa” yang diamanahkan Pembukaan UUD 1945, membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat adalah fungsi pendidikan nasional sesuai Pasal 3 UU Sisdiknas 2003, tidak sebatas berurusan dengan kognisi dan keterampilan, tetapi juga watak. Simpul yang menyatukan kognisi, keterampilan, dan watak adalah bernalar. Nalar itu bukan ditambahkan, tetapi menyatu dengan praksis pendidikan, yang sumber-sumbernya berasal dari khazanah budaya, termasuk di dalamnya tradisi lisan.
Keinginan Depdiknas mengembangkan pendidikan karakter dalam praksis pendidikan hendaknya tidak selesai dengan pernyataan, tetapi diikuti perencanaan matang menyangkut materi, silabus, dan cara menyampaikan dengan titik sentral pengembangan nalar. Di sana dikembangkan prinsip integrity is the name of the game (integritas di atas segalanya)! Dan tidak dihasilkan manusia-manusia pintar-terampil tetapi tidak berkarakter!