Bandung, KOMPAS.com — Sungai Citarum, sumber air minum bagi 25 juta warga Jawa Barat dan DKI Jakarta serta pemasok tenaga listrik bagi Pulau Jawa dan Bali, kini tercemar sejumlah bahan kimia berbahaya, terutama logam berat.
Pencemaran disertai pelumpuran dan pendangkalan (sedimentasi) yang hebat berlangsung terus menerus tanpa adanya upaya penanganan serius. Akibatnya hampir semua fungsi sungai yang sangat strategis bagi kepentingan nasional itu rusak berat.
Pencemaran dan sedimentasi sudah terjadi sejak hulu sungai di Situ Cisanti, di kaki Gunung Wayang Bandung Selatan dan mengalir sepanjang 269 kilometer hingga muara sungai di pantai Muara Merdeka Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Padahal, sebelum mengalir ke Laut Jawa, sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat ini juga digunakan untuk Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) di Waduk Saguling (kapasitas 700-1.400 Megawatt), Waduk Cirata (1.008 MW) dan Jatiluhur (187 MW). Ketiga PLTA itu memasok listrik untuk jaringan interkoneksi Pulau Jawa-Bali yang dihuni hampir separuh dari penduduk negeri ini. Air Citarum yang tercemar juga digunakan untuk perikanan dan irigasi bagi 420.000 hektar lahan pertanian di Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Purwakarta, dan lumbung padi nasional Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu.
Ekspedisi Kompas 21-31 Maret yang menyusuri sungai mulai dari Situ Cisanti hingga Muara Gembong, mencatat, perusakan sungai berlangsung sejak berpuluh tahun lalu dan dibiarkan begitu saja melintasi alur peradaban dan sejarah bangsa. Secara kasat mata, hanya 700 meter dari Situ Cisanti air Citarum tidak dijadikan tempat pembuangan limbah kotoran sapi. Sepintas air yang langsung keluar dari tujuh mata air di hulu itu terlihat bening.
Setelah itu, sungai ini melewati perkampungan padat Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung yang sebagian besar bermata pencaharian petani sayur dan peternak sapi perah. “Semua peternak sapi perah di desa ini membuang kotoran sapinya langsung ke sungai,” ujar Agus Darajat, tokoh masyarakat yang juga Ketua Kertasari Bersatu sambil menunjuk Citarum yang lebarnya di titik ini hanya dua meter.
Akan tetapi, menurut hasil pemantauan kualitas air Perum Jasa Tirta II, air yang keluar dari Outlet Cisanti sudah mengandung H2S dan chemical oxygen demand (COD) melebihi ambang baku mutu.
Alih fungsi lahan
Tokoh masyarakat hulu Citarum Dede Jauhari mengamati, semua itu akibat alih fungsi lahan dari yang seharusnya kawasan hutan konservasi daerah penangkap air, menjadi daerah pertanian semusim seperti sayuran. Hampir semua pertanian sayur (wortel, kol, kentang, dan daun bawang) di hulu Citarum menggunakan pestisida dan pupuk kimia.
Di sentra industri tekstil Kecamatan Majalaya, 20 km dari Kertasari, limbah industri dengan berbagai karakteristik, seperti warna pekat, bau menyengat, temperatur dan keasaman yang tinggi langsung dibuang ke Citarum.