Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jujur Pun Tersingkir dari Rumahnya

Kompas.com - 15/06/2011, 02:35 WIB

Berdasarkan temuan itu, Risma memberikan sanksi berupa penurunan pangkat selama 1–3 tahun kepada Kepala SDN Gadel 2 S serta dua guru, yakni F dan P. Dalam kurun waktu tersebut mereka tidak bisa menjabat sebagai kepala sekolah dan guru.

Menurut Risma, langkah ini dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan publik pada dunia pendidikan. ”Kepala sekolah sudah minta maaf. Jadi, jangan diperpanjang lagi. Ketiganya sudah menerima sanksi itu,” ungkapnya.

Akan tetapi, kasus ini ternyata tidak berhenti pada pemberian sanksi. Para wali murid kelas VI di SDN 2 Gadel ternyata tidak bisa menerima sikap Siami yang melaporkan kasus contek massal saat UN itu. Puncaknya, mereka mengusir Siami dan keluarganya dalam acara mediasi di Balai RW 02 Gadel, Kamis lalu.

Melihat perkembangan buruk itu, sosiolog Bagong Suyanto dari Universitas Airlangga, Surabaya, mengemukakan, akar masalah kasus yang dialami Siami sebenarnya konflik antara masyarakat dan negara. Lewat UN, siswa dan orangtua harus menerima bahwa UN adalah satu-satunya metode untuk mengevaluasi prestasi siswa.

Kondisi semacam itu membuat posisi masyarakat terpojok. Maka, warga pun marah atas kejujuran Siami karena mereka tidak ingin anak-anak mereka dituduh mencontek sehingga berpotensi tidak lulus UN.

Konflik antara negara dan masyarakat pun bergeser menjadi konflik antara masyarakat dan masyarakat. ”Apa yang dilakukan ibu Aam itu manusiawi. Dan, yang dilakukan warga juga manusiawi,” tutur Bagong.

Posisi para pendidik setali tiga uang. Meski nilai UN bukan satu-satunya penentu kelulusan, efek trauma pada kesakralan UN masih membekas. Mereka harus menjamin kelulusan siswanya dalam UN karena menjadi syarat kelulusan. ”Kalau mau bicara dari hati ke hati, guru pun ketakutan. Kalau siswanya tidak lulus, dia juga mendapat sanksi. Mereka ini juga tertekan oleh sistem. Jadi, pencopotan kepala sekolah dan guru dalam kasus ini, menurut saya, jadi tidak tepat,” kata Bagong.

Bagong menengarai, kasus semacam di Gadel ini juga terjadi di banyak sekolah. Kunci penyelesaian kasus ini, menurut dia, ada pada pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan Nasional.

Sosialisasi tentang makna UN harus digencarkan, terutama pada poin bahwa UN bukanlah satu-satunya penentu kelulusan siswa. Harus ada gerakan desakralisasi UN sehingga masyarakat tidak akan terlalu ketakutan lagi pada UN.

Daniel menegaskan, kasus yang menimpa Siami harus segera diselesaikan. Karena itu, Tim Independen Pemerintah Kota Surabaya merekomendasikan agar UN di SDN 2 Gadel tak perlu diulang agar tak merugikan murid dan orangtua. Wacana UN ulangan hanya membuat masalah bertambah rumit.

Daniel menilai, selama UN menjadi penentu kelulusan, kepala sekolah dan guru akan mempertahankan reputasi sekolah. Segala cara akan dilegalkan demi reputasi.

Siami dan keluarganya berharap agar masalah yang menimpa mereka segera selesai. Namun, ia mengaku tidak menyalahkan para tetangga yang telah mengusir mereka dari Gadel. ”Mungkin saat ini mereka belum memahami apa yang saya lakukan itu benar adanya. Tapi, saya yakin, suatu saat mereka bisa paham arti sebuah kejujuran,” kata Siami.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com