Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kusutnya Pendidikan di Papua

Kompas.com - 15/06/2011, 03:15 WIB

Ramses menambahkan, guru di Papua harus bekerja ekstra menjadi ”orangtua” murid di tengah ketidakpahaman dan kekurangpedulian orangtua terhadap pendidikan anak. Saat di rumah, orangtua jarang memantau pelajaran anak mereka. Kalaupun niat itu ada, tidak adanya listrik membuat anak kesulitan mengulang pelajaran.

Kurangnya perhatian orangtua juga terlihat dari diabaikannya pendidikan anak usia dini (PAUD) dan taman kanak-kanak (TK). ”Di sini, PAUD dan TK dianggap bukan sekolah. Padahal, tuntutan saat ini, sebelum masuk kelas I sekolah dasar (SD) anak sudah bisa membaca,” kata Manajer Program Pengembangan Wilayah (ADP) WVI Kurulu Wahyu Joko Susilantoro.

Dalam sistem masyarakat Pegunungan Tengah, anak diasuh kaum ibu. Saat hendak bekerja di ladang, para ibu mengajak anak-anak ke kebun. Tidak ada budaya mengantar anak sekolah, apalagi membantu mereka mengerjakan pekerjaan rumah.

Kondisi itu diperparah dengan kurikulum pendidikan nasional yang sering kali tidak membumi dengan kehidupan di Papua. Gambaran tentang sapi, harimau, apalagi gajah tentu sulit dibayangkan anak-anak di sana karena binatang itu tidak pernah mereka jumpai. Mereka mungkin dapat melihat melalui televisi atau internet, tetapi itu hanya bisa dilakukan mereka yang tinggal di kota kabupaten.

Guru juga sering kali kesulitan mencari padanan kata bahasa Indonesia ke dalam bahasa ibu para siswa yang beragam, terkait nama-nama binatang. Beberapa suku memiliki padanan kosakata beberapa binatang berkaki empat, tetapi beberapa suku yang lain tidak punya. Suku tertentu menyebut semua binatang berkaki empat, mulai dari babi, kucing, anjing, maupun kambing, sebagai wam tanpa dibedakan.

Belum lagi dialek beberapa suku yang saling tertukar dalam membunyikan konsonan, seperti ”p” diucapkan ”b”, ”j” dilafalkan ”y”, dan ”s” berubah menjadi ”t”. Kondisi ini membuat banyak anak asli Pegunungan Tengah tidak lancar membaca meski sudah duduk di bangku sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA).

Kondisi itu melemahkan kemampuan siswa mengikuti pelajaran sesuai beban kurikulum. Guru lebih memilih mengulang-ulang pelajaran yang sudah disampaikan agar murid bisa ingat. Ini membuat proses pendidikan menjadi tidak efektif.

”Paling hanya 30 persen kurikulum yang bisa disampaikan ke murid,” kata Kepala SD Advent Maima Youdy Y Wuisan.

Pelatihan bagi guru bukannya tidak pernah dilakukan. Menurut Ramses, banyak guru lebih peduli dengan ada tidaknya uang hadir dan uang transpor, saat ada pelatihan gratis untuk meningkatkan kemampuan mereka. Para guru sering merasa tidak butuh dan merasa sudah memahami materi pelatihan.

Guru Jawa

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com