JAKARTA, KOMPAS.com — Irma dan Siami adalah dua ibu yang mengungkapkan telah terjadi kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional SD di sekolah tempat anak mereka menuntut ilmu. Putra mereka diarahkan dan diorganisasi guru untuk melakukan kecurangan dengan membagikan jawaban soal ujian kepada teman-temannya. Irma, orangtua siswa SD 06 Petang Pesanggrahan, Jakarta Selatan, menyatakan, tak memiliki maksud apa pun di balik apa yang dilaporkannya. Sama seperti Siami, ia hanya menuntut sebuah kejujuran. Bukan penyangkalan.
"Saya punya bukti. Saya ingin tahu, keseriusan dari pemerintah, khususnya orang-orang dewasa, untuk melihat kasus ini. Apa pun yang saya punya akan saya keluarkan dengan tepat kalau mereka tidak sadar. Kita harus membebaskan anak-anak kita dari tangan kotor orang dewasa dan bukan mengikuti ambisi orang dewasa," ujar Irma kepada Kompas.com, Rabu (15/6/2011) malam.
Ia menyatakan terkejut dengan kesimpulan Kementerian Pendidikan Nasional atas kasus kecurangan di SD Gadel II Surabaya. Menteri Pendidikan Nasional M Nuh mengatakan, berdasarkan hasil analisa tak bisa dikatakan terjadi sontek massal karena dilihat dari pola jawaban siswa, tak ada pola identik dalam lembar jawaban 60 siswa peserta ujian. Menurut Irma, apa yang terjadi di Surabaya hampir sama dengan yang dialami anaknya. Adanya upaya pengorganisasian terhadap siswa untuk berbuat curang.
"Saya hanya menuntut untuk melindungi hak anak, mereka berhak mendapat pendidik yang layak. Anak SD mana ada pikiran untuk mencontek massal. Tetapi, yang menyuruh nyontek itu orang dewasa, guru mereka. Saya tidak mencari musuh. Saya juga tidak masalah kalau UN diulang. Buat saya, tidak penting nilai akademik tinggi, tetapi akhlak, kejujuran, itu yang harus ditanamkan kepada anak-anak," tutur Irma.
"Saya merasa anak-anak tidak dilindungi. Ibu Siami hanya mewakili anaknya, saya mewakili anak saya berbicara kejujuran. Bagaimana kalau mereka sudah berbicara jujur dan kita orang dewasa malah menyangkalnya? Mereka akan berpikir, tidak ada gunanya bicara jujur. Itu yang saya tidak mau," lanjutnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait juga mengatakan, anak-anak yang sudah mengungkapkan apa yang dialaminya secara jujur hendaknya diberikan apresiasi. Hal ini dinilainya penting agar anak-anak merasa apa yang telah dilakukannya adalah benar dengan mengungkapkan tindakan kecurangan yang terjadi.
Anggota Komisi X DPR yang membidangi masalah pendidikan, Deddy Gumelar, mengatakan, substansi persoalan yang harus dilihat pemerintah bukan sekadar ada pencontekan massal atau tidak. Namun, ada perilaku memerintah siswa untuk berbuat curang oleh guru.
"Ini adalah sebuah dekadensi moral pendidikan kalau memang gurunya yang memang meminta anak melakukan itu. Kalau hanya melihat mencontek massal dari hasil akhir, saya pikir tesisnya bukan di situ. Tetapi, anak juga dibolehkan, diberikan kesempatan mencontek, itu kan tidak betul," ujar anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.
Pakar Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Arief Rachman, mengatakan, tidak boleh ada kompromi terhadap kecurangan. Dalam pendidikan, kejujuran adalah segalanya.
"Kejujuran harus menjadi gerakan nasional. Dalam bidang pendidikan, tidak ada kompromi. Di semua jenjang, dari TK sampai dengan profesor," kata Arief saat dihubungi Kompas.com, Rabu (15/6/2011).