Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rusaknya Taman dan Ladang Bahari Kami

Kompas.com - 22/07/2011, 04:17 WIB

Nelayan jaring murami di Pulau Pramuka, Syaiful, bercerita, butuh kerja lebih keras jika ingin memperoleh hasil yang sama dengan masa 5 atau 10 tahun lalu. Dahulu nelayan cukup satu atau dua kali menyelam dan menebar jaring untuk memperoleh setengah hingga satu ton ikan. Kini dibutuhkan empat hingga lima kali penyelaman.

Melaut dari pukul 07.00 dan kembali pukul 17.00, Syaiful memperoleh 4 keranjang atau sekitar 300 kilogram ikan ekor kuning dan selar yang dijual ke Muara Karang dengan harga Rp 5.000 hingga Rp 8.000 per kilogram. Ada juga 10 kg ikan baronang, yang langsung habis dibeli warga setempat dengan harga Rp 40.000 per kg.

Setelah berbagi hasil dengan 8 anak buah, penghasilan bersih Syaiful hari itu hanya berkisar Rp 100.000. Padahal, seluruh modal berupa kapal, jaring, maupun alat penyelaman anak buah kapal menjadi tanggungannya. ”Pekerjaan ini tidak mudah lagi karena kami harus berjuang lebih keras untuk mendapat hasil yang sama dengan waktu-waktu sebelumnya,” katanya.

Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Riza Damanik mengatakan, kondisi nelayan di Kepulauan Seribu merepresentasi kehidupan masyarakat pesisir negeri ini. Sebagai warga di negara kepulauan yang 70 persen wilayahnya berupa perairan, nelayan justru menjadi kaum paling terpinggirkan. Penghasilan merosot karena beratnya persaingan dengan pemodal besar serta terjadinya perubahan lingkungan bawah laut.

Frekuensi melaut juga berkurang, dari sekitar 270 hari dalam setahun, kini menjadi 170 hari. Penyebabnya adalah gelombang tinggi dan cuaca buruk. Sepanjang Januari hingga September 2010 tercatat 68 nelayan hilang dan meninggal di laut akibat cuaca buruk. Sayangnya, belum ada penyediaan asuransi bagi nelayan. ”Padahal yang dibutuhkan hanya Rp 350 miliar atau 0,035 persen dari total APBN untuk asuransi kecelakaan kerja dan kematian bagi nelayan,” tuturnya.

Pengamat kelautan dari Universitas Indonesia, Hasroel Thayib, mengatakan, pembangunan di negeri ini telah dibuat sedemikian rupa seolah-olah kita semua adalah orang daratan. Kita lupa bahwa kita memiliki laut yang berada pada kawasan coral triangle dengan keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia.

Eksploitasi daratan tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang diperkirakan mencapai 316 juta jiwa pada 2047. Jika saja pemerintah peduli akan persoalan ini, pemanfaatan dan pengelolaan laut secara berkelanjutan dapat dilakukan untuk mengatasinya.

Keunggulan isi perairan Indonesia adalah multispesies dalam perairan yang begitu luas. Melalui pemanfaatan teknologi, nelayan tak perlu menangkap ikan secara berlebihan. Hasil tangkap secukupnya dapat diolah menjadi beragam produk turunan. Itu akan meningkatkan kesejahteraan nelayan.

Menurut dia, pemerintah juga perlu memperbaiki tata ruang pembangunan permukiman serta penanganan sampah dan limbah. Hal itu penting agar perairan sebagai sumber pangan tidak lagi menjadi tempat pembuangan akhir sampah.

Dengan begitu, ekosistem bawah laut dapat terus terjaga agar taman dan ladang bahari sebagaimana dibanggakan Syahrullah tetap berkelanjutan.

(Irma Tambunan)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com