Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka Harus Bekerja Keras untuk Bisa Sekolah

Kompas.com - 24/07/2011, 02:57 WIB

Nasib Mahmud tak jauh beda. Sudah setahun ini ibunya menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi. Bapaknya yang bekerja serabutan masih menanggung lima anak. Karena itu, anak terakhir dari enam bersaudara itu tak mau merepotkan bapaknya. Ia kelak ingin menjadi petugas satpam seperti bapaknya dulu. Untuk bisa menjadi satpam, ia mesti lulus SMA. ”Saya malu minta orangtua terus. Saya kan sudah besar,” kata Mahmud sambil menawarkan dagangannya kepada orang yang lalu lalang di pasar.

Di tempat lain, Priya Pangestu (13), siswa SMPN 18 Kota Cirebon, malah harus bekerja lebih keras lagi. Setiap hari seusai sekolah sekitar pukul 13.00, dia harus membantu bapaknya, Jupri (39), melaut. Saat libur, dia bahkan tak bisa bermain seperti teman-temannya karena harus ikut melaut sejak pagi.

Jika beruntung, Priya dan bapaknya bisa mendapatkan Rp 100.000 dalam sehari dari hasil menjual ikan. ”Tapi, lebih seringnya tidak mendapatkan sebanyak itu. Rata-rata Rp 20.000 sehari,” kata Jupri, warga Kelurahan Pesisir, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.

Jika hasil menjual ikan banyak, pendapatan Priya juga besar. ”Kalau Bapak mendapat Rp 50.000, saya diberi Rp 15.000. Dari Rp 15.000 itu, Rp 10.000 ditabung dan Rp 5.000 untuk jajan di sekolah,” katanya.

Langgar UU

Riski, Mahmud, Priya, dan puluhan ribu atau bahkan jutaan anak seusia dia atau lebih memang tidak punya pilihan lain untuk tetap sekolah selain harus bekerja. Kondisi mereka kontras dengan hak anak-anak untuk memperoleh pendidikan yang dijamin Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 9 Ayat (1) UU itu menyebutkan, setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. UU mewajibkan pemerintah menyelenggarakan pendidikan dasar minimal sembilan tahun untuk semua anak.

Pada saat warga miskin berharap pada pendidikan demi perbaikan kualitas hidup, pemerintah di sisi lain justru membiarkan biaya pendidikan kian mencekik. Sebagai contoh, warga miskin kesulitan mengakses sekolah bermutu atau berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) lantaran biayanya selangit. Riski, Mahmud, dan Priya cukup bersekolah di SMPN reguler atau sekolah berkualitas ”biasa”.

Untuk masuk ke SMPN I Kota Cirebon yang berstatus RSBI, misalnya, orangtua mengeluarkan uang masuk minimal Rp 6 juta. Keberadaan kuota 20 persen bagi warga miskin untuk masuk ke RSBI dengan jaminan kualitas pendidikan lebih baik justru berarti pengurangan kursi sekolah negeri bagi kaum miskin.

Gregorius Tjaidjadi dari Jaringan Mitra Perempuan dan Anak Jawa Barat mengatakan, keberadaan anak-anak yang menjadi pekerja di bawah umur adalah pelanggaran konvensi internasional mengenai pekerja anak yang dikeluarkan Organisasi Buruh Internasional (ILO).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com