Nasib Mahmud tak jauh beda. Sudah setahun ini ibunya menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi. Bapaknya yang bekerja serabutan masih menanggung lima anak. Karena itu, anak terakhir dari enam bersaudara itu tak mau merepotkan bapaknya. Ia kelak ingin menjadi petugas satpam seperti bapaknya dulu. Untuk bisa menjadi satpam, ia mesti lulus SMA. ”Saya malu minta orangtua terus. Saya kan sudah besar,” kata Mahmud sambil menawarkan dagangannya kepada orang yang lalu lalang di pasar.
Di tempat lain, Priya Pangestu (13), siswa SMPN 18 Kota Cirebon, malah harus bekerja lebih keras lagi. Setiap hari seusai sekolah sekitar pukul 13.00, dia harus membantu bapaknya, Jupri (39), melaut. Saat libur, dia bahkan tak bisa bermain seperti teman-temannya karena harus ikut melaut sejak pagi.
Jika beruntung, Priya dan
Jika hasil menjual ikan banyak, pendapatan Priya juga besar. ”Kalau Bapak mendapat
Riski, Mahmud, Priya, dan puluhan ribu atau bahkan jutaan anak seusia dia atau lebih memang tidak punya pilihan
Pasal 9 Ayat (1) UU itu menyebutkan, setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. UU mewajibkan pemerintah menyelenggarakan pendidikan dasar minimal sembilan tahun untuk semua anak.
Pada saat warga miskin berharap pada pendidikan demi perbaikan kualitas hidup,
Untuk masuk ke SMPN I Kota Cirebon yang berstatus RSBI, misalnya, orangtua mengeluarkan uang masuk minimal Rp 6 juta. Keberadaan kuota 20 persen bagi warga miskin untuk masuk ke RSBI dengan jaminan kualitas pendidikan lebih baik justru berarti pengurangan kursi sekolah negeri bagi kaum
Gregorius Tjaidjadi dari Jaringan Mitra Perempuan dan Anak Jawa Barat mengatakan, keberadaan anak-anak yang menjadi pekerja di bawah umur adalah pelanggaran konvensi