Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membangun Karakter Bangsa

Kompas.com - 23/08/2011, 03:14 WIB

Oleh Bakdi Soemanto

Dengan menyeruaknya berbagai masalah bangsa, semakin jelas bahwa salah satu sumber masalah adalah hilangnya kepercayaan masyarakat kepada para pemimpin, pejabat, dan petugas, di semua bidang.

Seorang sopir taksi dari Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta, berkomentar, ”Sepertinya negara dengan segala aturannya sudah hilang. Orang boleh berbuat semau gue.”

Komentar semacam itu bisa dijaring dengan gampang di jalanan, di pasar, atau di mal. Opini tidak berdiri sendiri. Ia muncul karena menanggapi suatu kejadian. Nada dasar omongan orang jalanan itu, kalau ditangkap dengan telinga hati, menunjukkan kekecewaan mendalam masyarakat kepada para pemimpin pemerintahan sekarang.

Dalam keseharian, tampak sederetan kebijakan dan keputusan yang terasa kurang pas bagi akal sehat dan bahkan mengganggu rasa keadilan. Ketidakberesan dibiarkan seakan-akan memang sudah sewajarnya. Semua ini membuat desas-desus tentang ketidaktepatan kebijakan terus bergulir, yang menjadi benih-benih ketidakpercayaan kepada para pengambil keputusan. Bukankah ini potensi yang mengancam kohesivitas masyarakat?

Tidak sejalan

Gejala yang sangat menggelisahkan sekarang ini adalah yang dikatakan tak ada hubungannya dengan yang dilakukan. Kata-kata ibarat jagat maya yang bermain sendiri dan jumpalitan dengan kesibukannya, sama sekali tidak terkait dengan jagat realitas di dunia fana. Oleh karena itu, berbagai macam rumusan moral, budi pekerti, kearifan lokal, dan seterusnya tidak menunjukkan sentuhan yang efektif.

Semua ini menunjukkan ketidakjelasan arah tentang karakter bangsa. Mungkinkah persoalan yang begitu kompleks bisa diatasi dengan budi pekerti, pendidikan Pancasila, dan khotbah para pemuka agama? Belajar dari pengalaman menatar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) pada era Orde Baru, saya ingin mengatakan bahwa cara-cara seperti itu tidak akan membawa hasil.

Sekian ratus tahun lalu orang sangat percaya bahwa ”pada awal mula adalah kata dan kata menjadi daging”. Sekarang, itu berubah menjadi ”pada awal mula adalah kata dan kata tetap menjadi kata”.

Rendra pernah menulis sajak: ”Perbuatan adalah pelaksanaan kata-kata”. Sekarang, ”kata-kata adalah lanjutan permainan kebijakan politik”.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com