Putus asa? Dengan tegas, saya jawab, ”Tidak!” Kita masih bisa membenahi secara konkret dan langsung kena sasaran.
Di jalanan, kesemrawutan semakin hebat. Berbagai kota diserbu motor. Semua motor itu desainnya hampir sama: mirip dengan motor yang lari di arena balapan dengan kecepatan minimal 200 kilometer per jam.
Jadi, tampilan para pengendara motor di jalan menjadi sangat mengerikan. Mereka memamerkan keterampilan super tanpa disertai kesadaran bahwa mereka di jalan umum, bukan di arena balapan. Dengan tenangnya, mereka berbondong-bondong di jalan umum mengendarai motor di sisi kanan jalan. Kadang, di sudut jalan ada dua atau tiga polisi, tetapi mereka tak tergerak menghentikan.
Polisi lalu lintas hanya tertarik mengurusi SIM, STNK, dan pelat nomor. Setiap terjadi benturan antarkendaraan yang diusahakan adalah ”damai saja”, bukan mengusut mana yang salah dan mana yang benar.
Banyak orang asing—ada Belanda, Amerika, Inggris, dan Perancis—mengadu kepada saya tentang hal ini. Mereka tak paham hal-hal semacam ini, tetapi menjadi paham mengapa Pemerintah Indonesia tak bisa atasi korupsi: karena filsafat damai.
Salah satu sumbernya adalah kemudahan membeli motor dan mendapatkan SIM. Dengan uang Rp 500.000, orang bisa bawa pulang motor baru. Dengan satu kali ”tembak”, SIM muncul tanpa ujian. Pada saat-saat tertentu dengan generosity yang luar biasa, bus polisi keliling untuk melayani perpanjangan SIM. Ini semua hanya membantu memudahkan untuk mengendarai motor di jalan. Namun, sekali lagi kesadaran kebersamaan, menjaga harmoni, dan menghormati orang lain tidak disentuh.
Itu semua adalah contoh bagaimana hal yang sangat serius digampangkan. Dalam jagat akademik pun, diam-diam ada dosen yang suka main gampang-gampangan dalam membimbing tesis. ”Tinggalkan cek yang tebal. Dalam tempo tiga hari, skripsi akan jadi dan siap uji”.
Hal yang sederhana dan tidak terlalu berkaitan dengan persoalan politik pejabat tinggi ini sebenarnya bisa kita atasi perlahan-lahan. Caranya dengan hukum yang jelas dan tegas penegakannya. Ini jauh lebih efektif ketimbang penataran, budi pekerti, dan khotbah.
Jadi, pembentukan karakter bangsa pun harus bermula dari hukum yang jelas. Bukan dengan kata-kata tinggi, melainkan sanksi bagi yang salah dan hadiah bagi yang selalu menjaga keselarasan.