"Gaji itu didapat dari Indosawit. Waktu itu sekali ngajar dapat Rp 1.500 untuk tiga guru. Karena kami bertujuh, jumlah itu akhirnya dibagi tujuh. Satu orang jadi sekitar Rp 200," ungkap Suharni.
Ketika itu, gaji hanya didapat setiap kali mengajar. Alhasil, ketika libur panjang, Suharni beserta suaminya yang juga guru sama sekali tidak memiliki penghasilan. Dengan kondisi seperti itu, sang suami akhirnya keluar dari sekolah dan beralih profesi sebagai buruh pabrik sawit.
"Keadaan yang memaksa suami saya berhenti jadi guru. Karena tidak mungkin dua-duanya jadi guru, saat libur kami bingung cari uang dari mana?" kenangnya.
Gagal jadi guru di Pulau Jawa
Banyak orang yang bertanya-tanya, kenapa banyak warga yang memilih program transmigrasi dari kota menuju pelosok entah berantah. Hal ini pula yang dirasakan Suharni. Pada tahun 1989, Suharni memutuskan meninggalkan kampung halamannya di Gunung Kidul, Yogyakarta menuju Riau. Keputusannya ini diambil bukan tanpa sebab.
"Dulu saya setahun cari kerja jadi guru di Yogya sama di Bogor semua enggak ada yang terima sampai saya stress harus melamar ke mana lagi," katanya.
Ia lalu mendengar ada program transmigrasi pemerintah "Pir-Trans" di Riau di antara perkebunan sawit. Ide gila Suharni pun muncul. "Saya nekat juga akhirnya ikut program itu karena saya merasa di Jawa sudah terlalu banyak saingan. Sulit untuk sukses," tuturnya.
Tetapi, untuk mengikuti program transmigrasi, Suharni harus sudah menikah. Sementara saat itu, ia masih melajang. Ia lalu mencari jodoh dan menikah sesegera mungkin. Pada bulan Desember 1989, pengantin baru ini berangkat ke Dumai, Riau menggunakan kapal Krakatau II selama empat hari empat malam.
"Benar-benar saya enggak tahu arah. Enggak tahu mau ngapain saya di sana. Enggak tahu kondisinya akan seburuk apa, pokoknya benar-benar nekat," cerita dia.
Mapan